Tuesday, May 10, 2016

Pola Pikir Buruh

          Para pengusaha atau kelompok pemilik modal sangat menyadari bahwa aksi buruh dapat mematikan gerak kapitalnya. Untuk menghindari aksi buruh tersebut, pemilik modal dapat melakukan berbagai trnsformasi budaya buruh yaitu dengan cara[1]:
1.    Menempatkan buruh sebagai unsur utama dalam kegiatan perusahaan sehingga jika buruh melakukan aksi sama saja merugikan buruh itu sendiri;
2.    Membagikan sebagian laba kepada buruh, dengan cara ini buruh merasa ada perbaikan ekonomi sehingga tidak perlu melakukan aksi;
3.    Memberikan saham kepada buruh, sehingga membuat buruh merasa memiliki perusahaan, sehingga buruh tidak perlu melakukan aksi terhadap perusahaan tempat kerjanya sendiri;
4.    Memberi modal kepada buruh untuk mendirikan koperasi. Dengan memiliki koperasi, kaum buruh dapat mengurus dirinya sendiri dan dapat menanggulangi kesulitan hidupnya.

Dengan melakukan hal tersebut diatas, buruh lebih moderat menghadapi pemilik kapital.  Apabila buruh memiliki keyakinan bahwa untuk mengubah nasibnya harus melalui pengubahan sistem sosial, maka apapun yang dilakukan oleh pemilik kapital diterima oleh buruh sebagai rekayasa untuk mempertahankan kepemilikannya atas alat produksi, sehingga buruh pun akan terus berjuang untuk memiliki alat produksi sendiri.  Kondisi riil semacam ini yang sekarang dihadapi pemilik modal, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Pada dasarnya kemiskinan dan kesengsaraan hiduplah yang menyebabkan aksi-aksi buruh dilakukan. Kaum pemilik modal pada umumnya tidak peduli dengan penderitaan buruh karena mereka berpandangan bahwa buruh adalah komoditi yang dengan mudah dibeli di pasar tenaga kerja. Dalam pasar tenaga kerja, harga atau upah buruh ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan nasib buruh sulit diperbaiki. Hanya dengan campur tangan negara, kehidupan buruh dapat diperbaiki, artinya negara harus berperan serta dalam menentukan tingkat upah yang layak untuk hidup.  Pola pikir buruh dapat dilihat sebagai berikut :










 Gambar 1. Pola Pikir Buruh
Sumber : Darsono, 2009 : 368



[1] Darsono.2009. Budaya Organisasi, Jakarta : Nusantara Consulting, hal. 366-367

Monday, May 9, 2016

MATERI KULIAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Beberapa materi kuliah Sistem Politik Indonesia sudah diunggah ke File Hosting Media Fire yang dapat anda  unduh pada link berikut 

1. Materi Mekanisme Input - Output dalam Sistem Politik, dapat diundah pada link berikut: 
http://www.mediafire.com/file/24nmq7upfyw0k1s/MEKANISME_INPUT_OUTPUT_DALAM_SISTEM_POLITIK.pptx/file
2. Materi Struktur dan Fungsi Sistem Politik, dapat diunduh pada link berikut :
http://www.mediafire.com/file/otcodeht8uf5rzb/Struktur_dan_fungsi_system_politik.pptx/file

Adapun materi lingkungan sistem politik dapat anda baca pada tulisan berikut : 


LINGKUNGAN SISTEM POLITIK



Lingkungan dalam sistem politik adalah faktor yang dapat mempengaruhi bekerjanya suatu sistem politik. Suatu sistem politik dapat dipengaruhi karena ia senantiasa berinteraksi dengan lingkungan yang mengitarinya. Terdapat dua jenis lingkungan sistem politik yakni lingkungan dalam maupun  lingkungan luar-masyarakatnya.
            David Easton memandang lingkungan sistem politik terdiri dari lingkungan masyarakat dalam (intra societal environment) dan lingkungan masyarakat luar (extra societal environment). Sedangkan Almond menyebut lingkungan dalam masyarakat dan lingkungan luar masyarakat dengan istilah lingkungan domestik dan lingkungan internasional.

A.     Lingkungan Masyarakat Dalam (Domestik)

            Easton memandang, lingkungan masyarakat dalam meliputi sistem ekologi, sistem biologi, sistem kepribadian, dan sistem sosial.  Sistem ekologi menunjuk pada semua lingkungan baik fisik atau kondisi-kondisi organis non humanis daripada kehidupan manusia.  Lingkungan fisik meliputi ciri-ciri geografi atau tata ruang seperti sifat dasar topografi, sumber-sumber fisik, luas teritori, iklim, sifat-sifat sama yang mempengaruhi kehidupan politik. Sementara kondisi organik non humanis  lebih mengacu kepada alam, lokasi dan kekayaan persediaan makanan, flora dan fauna lainnya yang dapat digunakan oleh anggota sistem politik.
            Sistem biologi menunjuk pada susunan biologi manusia dari masyarakat yang bersangkutan. Kondisi biologi ini dianggap mempunyai keterkaitan kuat dalam menentukan perilaku politik tertentu. Sistem ini penting, sejauh dapat memberikan petunjuk pada batas-batas perilaku individu yang mempengaruhi kehidupan politik. Misalnya susunan biologis dari seseorang/manusia tertentu dapat melahirkan perilaku yang rasional, penuh pertimbangan, kedamaian, sementara dapat juga melahirkan suatu perilaku yang sangat emosional, kurang perimbangan dan menyukai konflik.
            Sistem kepribadian, sistem ini berhubungan erat dengan sistem biologi, oleh itu juga menentukan perilaku manusia di dalam masyarakat. Pemahaman terhadap kepribadian individu atau suatu masyarakat dapat membantu elit dalam membuat keputusan atau menentukan cara-cara yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
            Struktur sosial, pengelompokkan di dalam suatu masyarakat, mobilitas dan kekuatan yang ada di dalam kelompok mempengaruhi tuntutan dan dukungan terhadap sistem politik. Dengan demikian maka sistem sosial membantu memahami suatu sistem politik. Struktur sosial dapat dilihat secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal, apabila susunan atau pelapisan dilihat mulai dari bawah hingga atas, sehingga dapat diketahui struktur yang paling dominan dalam mepengaruhi pembentukkan tuntutan dan dukungan terhadap sistem politik.  Selanjutnya dapat dicermati hubungan antara lapisan tersebut yaitu untuk mengetahui cara elit/kelompok dalam memperoleh dukungan dari lapisan di bawahnya. Sementara apabila dilihat secara horizontal, menunjuk kepada pengelompokkan/pelapisan masyarakat yang sederajat seperti suku bangsa, agama, ras dan sebagainya. Pemahaman terhadap struktur semacam ini juga dapat membantu memahami kelompok mana yang dominan dalam mepengaruhi sistem politik.
            Sistem kebudayaan menunjuk kepada pemahaman terhadap nilai-nilai politik masyarakat mempengaruhi sistem politik dalam menetapkan keputusan dan kebijakan politik. Karena kekurang-pahaman atas kebudayaan politik berakibat pada tuntutan maupun dukungan yang diberikan oleh lingkungan kepada sistem politik. Pada  sebuah masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menghindari konflik dengan budaya yang lebih hierarkhis dalam susunan masyarakat. Di  luar pulau jawa, seperti Sumatera, karakter masyarakatnya lebih egaliter.
            Sistem ekonomi berkaitan erat dengan sistem ekologi karena kebijakan pembangunan ekonomi semestinya berorientasi antara lain pada permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber kekayaan alam sehingga mampu meningkatkan ekonomi rakyat. Sebab kesalahan dalam membuat suatu kebijakan akan mengundang tuntutan masyarakat.
Sistem demografi menunjuk pada keadaan penduduk menyangkut jumlah, komposisi, distribusi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang besar mempengaruhi kelangsungan hidup sistem politik. Oleh karena itu, sistem demografi sudah seharusnya mendapat perhatian daripada sistem politik terutama perhatian daripada pembuat kebijakan politik.
Dilihat dari jumlah penduduk, penduduk yang berlebih tanpa diimbangi dengan kualitas ketrampilan (skill) yang memadai malah membebani dan melemahkan sistem politik. Perlu pula diperhatikan mengenai komposisi penduduk dilihat dari segi usia tua dan muda karena ini berkaitan dengan usia produktif dan non produktif.
Demikian pula dengan pertambahan penduduk sangat perlu memperoleh perhatian, karena pertambahan penduduk disatu sisi memberikan keuntungan bilamana dibarengi dengan kualitas dan kemampuan yang memadai dari anggota masyarakat sistem politik tersebut. Disisi lain, pertambahan penduduk ini bisa merugikan apabila pertumbuhan ini tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan oleh sistem politik.
Begitu pula persoalan distribusi penduduk merupakan persoalan yang sangat pelik, terutama bagi Indonesia dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan dan terkonsentrasinya penduduk di pulau Jawa terutama di ibukota negara.

B.      Lingkungan Masyarakat Luar (Internasional)
            Lingkungan masayarakat luar terdiri atas sistem politik internasional, sistem ekologi internasional dan sistem sosial internasional. Sistem politik internasional terbagi  lagi ke dalam sistem politik individual yaitu sistem politik yang berada dalam masyarakat internasional. Antara sistem politik individual dengan sistem politik individual lainnya dapat melaku
kan hubungan bilateral maupun multilateral, dimana masing-masing sistem politik mempunyai kepentingan nasional. Oleh karena itu setiap sistem politik individual harus secara cermat menilai kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangannya, sehingga mampu melakukan hubungan dengan sistem politik lainnya dan selalu dihargai di mata internasional sebagai sistem politik yang kokoh. Dengan demikian maka sistem politik itu tidak tergantung pada  sistem politik lainnya.
Sementara, kelompok  sistem politik adalah kumpulan  daripada dua atau lebih sistem politik individual, mereka bergabung  berdasarkan atas persamaan kepentingan dan pencapaian tujuan bersama. Sistem politik kelompok yang dimaksud misalnya asosiasi atau organisasi-organisasi antar negara-negara seperti NATO, UNI EROPA, G-8, ASEAN, dan banyak sistem-sistem politik kelompok lainnya.
Sistem ekologi internasional, sistem ini tentu sejajar dengan sistem ekologi domestik yaitu menunjuk pada  lingkungan fisik dan kondisi-kondisi  non-humanis daripada masyarakat internasional. Atas kesepakatan bersama menentukan  kemampuan lingkungan itu.
Sistem sosial internasional adalah sejenis sistem sosial domestik  dalam konteks internasional. Dimana lingkungan  internasional ini, susunan masyarakatnya dapat dilihat dari perspektif vertikal maupun horizontal, sebab dalam masyarakat internasional timbul kecenderungan suatu sistem bangsa-bangsa tertentu merasa lebih unggul daripada bangsa lainnya. Misalnya bangsa kulit putih merasa rasnya lebih unggul daripada bangsa kulit hitam, orang eropa/barat merasa lebih unggul daripada orang  Asia.
Hubungan sistem politik dengan lingkungannya dapat dilihat dari output sistem politik yang menerima pengaruh lingkungan tersebut. Bagaimana sistem politik tersebut memberikan tanggapan antara lain berupa kebijakan. Oleh karena itu adanya pengaruh tuntutan dan dukungan dari lingkungan dalam-masyarakat dan lingkungan luar-masyarakat, akan diolah serangkaian respon untuk menghadapinya dengan cara menyusun struktur politik sebagai mesin penggerak sistem baik organ formal maupun informal.

Lingkungan domestik yang dapat mempengaruhi sistem politik antara lain dapat dilihat dari kebijakan nasional. Lingkungan Domestik Indonesia misalnya, yang notabene merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah darat dan laut yang cukup besar tentu akan berbeda dengan kebijakan nasional yang ditetapkan oleh negara yang wilayahnya hanya sebatas daratan atau seluas benua seperti Australia. Dari sisi kebijakan pertahanan dan keamanan, kebijakan nasional Indonesia seharusnya jauh lebih ketat ketimbang negara yang luas wilayahnya hanya meliputi daratan saja. Dirampasnya pulau Simpadan, Ligitan dan Ambalat oleh Pemerintah Malaysia merupakan bukti bahwa negara Indonesia dalam hal kebijakan pertahanan dan keamanan nasional harus lebih waspada. Begitupula dengan ketersediaan sumber-sumber barang dan jasa serta kekayaan alam, seberapa besar dapat diproduksi dan didistribusikan seperti modal, lahan, kemajuan teknologi, tenaga ahli dan pekerjanya juga akan mempengaruhi corak kebijakan nasional. Termasuk juga diantaranya faktor persepsi elit atas lingkungan dan peristiwa atau gejala sosial yang terjadi baik dalam masyarakat maupun kecenderungan internasional. Sistem politik suatu negara juga bergantung pada lingkungan internasional. Dalam hal pengaruh lingkungan internasional terhadap sistem politik tersebut dapat dilihat dari kebijakan luar negerinya. 




Thursday, April 28, 2016

BUDAYA BURUH : BAGIAN 2

          Budaya buruh adalah pola pikir dan perilaku buruh untuk memperbaiki nasib melalui berbagai aksi kemudian meningkat menjadi revolusi[1]. Budaya bururh lahir berdasarkan pada kondisi obyektifnya, bahwa sepanjang sejarah kapitalisme, nasib buruh nyatanya makin sengsara. Cara mereka mengubah nasibnya adalah melalui aksi dan revolusi. Dengan cara demikian, buruh yakin bahwa nasibnya akan lebih baik melalui pengubahan sistem ekonomi, yaitu dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi sosialis, atau dari sistem ekonomi imperialis menjadi sistem ekonomi kerakyatan[2]. Aksi buruh lahir dari kondisi kehidupan sosial-kapitalis yang penuh dengan konflik, baik konflik ekonomi, sosial, maupun politik.
          Dalam melakukan aksi untuk mengubah dirinya, buruh harus berbekal teori. Tanpa teori, pelaksanaan aksis tidak akan tercapai secara efektif dan mengenai sasaran. Dalam teori aksi, beberapa elemen atau unsur-unsur yang ada dalam aksi adalah sebagai berikut[3] :
1.    Sifat aksi
Aksi buruh dapat bersifat ekonomi, sosial, dan politik. Aksi buruh juga dapat berskala nasional dan lokal. Selain itu, aksi buruh dapat bersifat komunal maupun individual, terkoordinasi ataupun sporadis, terpisah-pisah ataupun meluas. Aksi buruh pada awalnya menuntut perbaikan ekonomi. Apabila tidak dipenuhi, kemudia ia dapat berkembang menjadi aksi sosial. Setiap ada persamaan wacana tentang ketimpangan ekonomi dan sosial, buruh bisa jadi bergabung dengan aksi sosial sebagi wujud solidaritas sosial dan sekaligus membentuk front persatuan sebagai kekuatan menentang ketidakadilan sosial. Ketika aksi ekonomi dan sosial dipandang merugikan, dan pemilik modal dilindungi oleh kekuasaan politik, maka aksi sosial tadi dapat berkembang menjadi aksi politik, yakni aksi yang menuntut penggantian pejabat pemerintah atau mengganti lembaga pemerintahan yang dianggap tidak mampu mengakomodir kepentingan buruh dan masyarakat.
2.    Tingkatan aksi
Tingkatan aksi buruh dapat besar atau kecil, berat atau ringan, semua itu merupakan bagian suatu revolusi, atau menuju proses terjadinya revolusi. Aksi buruh yang gagal tidak berarti negatif, tetapi juga mempunyai arti positif, karena dari pengalaman kegagalan (kekalahan) itu kaum revolusioner dapat menarik pelajaran, sehingga kaum revolusioner makin terdidik dan terlatih. Kegagalan mendorong keberanian dan kemampuan berlawannya akan makin besar dan meningkat. Aksi buruh tidak boleh bersifat spekulatif. Aksi yang benar walaupun kecil harus dilakukan dengan perhitungan dan tanpa keraguan  walaupun kemenangan belum pasti diraih.
3.    Proses aksi
Proses aksi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat, yaitu dapat dimulai dari bertanya, usul, protes, menuntut, menentang, dan akhirnya sampai perlawanan. Proses aksi dimulai dari pengiriman delegasi kecil sampai delegasi besar, dari aksi sebagian-sebagian sampai aksi total menyeluruh, aksi jangka pendek hingga aksi jangka panjang.
4.    Syarat-syarat aksi
Syarat-syarat aksi harus benar-benar diperhatikan sebelum aksi dimulai atau dilakukan. Syarat-syarat aksi itu ialah : (1) motif yang jelas sebagai dasar alasan suatu aksi dilakukan; (2) objektifitas tuntutan, tuntutan yang wajar dan kemungkinan dapat dipenuhi; (3) sasaran yang tepat, aksi ditujukan langsung kepada persoalan obyektif dan pemegang kendali, atau kepada aparat atau tangan-tangan dari pemegang kendali; (4) dapat dipahami dan didukung oleh massa yang berkepentingan, artinya massa yang mendukung merasa berkepentingan  dan memahami persoalan; (5)dapat menarik front atau tidak menambah lawan, massa atau golongan lain bisa memahami atau bahkan membantu aksi, atau massa pendukung aksi tidak berfihak pada lawan; (6) persiapan yang cukup, aksi yang dilakukan tidak bersifat spontan atau sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi, barisan yang disiapkan dinilai kuat dan solid. Aksi yang spontan dengan tanpa perhitungan yang matang biasanya gagal mencapai sasaran, bahkan bisa merusak tujuan aksi  sehingga dapat melemahkan kekuatan.
5.    Kekuatan aksi
Setiap aksi harus mempunyai kekuatan. Dalam aksi harus sudah disiapkan dan terpimpin secara baik, massa yang bergerak dengan kekuatan pelopor (barisan depan), kekuatan inti (ditengah-tengah) dan kekuatan basis (yang mendukung dan membentengi). Disamping kekuatan-kekuatan tersebut diatas, ada juga yang disebut dengan kekuatan front, yakni kekuatan di luar  kekuatan intern yang memiliki kepentingan yang sama, mereka kemudian bergabung, mendukung dan melakukan aksi bersama-sama. Namun demikian, kekuatan front tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan menang-kalahnya suatu aksi. Kekuatan front  hanya kekuatan tambahan yang dapat mempercepat kemenangan. Oleh karena itu, penentuan berhasil atau tidaknya aksi buruh sangat ditentukan oleh kekuatan intern-nya.
6.    Strategi dan Taktik Aksi
Setiap aksi harus memiliki target yang akan dicapai. Pencapaian target tersebut dapat ditempuh dengan cara perundingan/negosiasi atau kompromi. Kompromi merupakan takti dari perjuangan aksi dengan cara mendekatkan diri pada target yang dituju. Namun demikian, kompromi harus tetap berpegang teguh pada sasaran/target yang sudah ditetapkan
          Aksi buruh harus menjadi perhatian kamum kapitalis, karena buruh biasanya menggunakan ajaran Marx sebagai senjata moral perjuangan. Oleh karena itu, kaum kapitalis harus memiliki ajaran yang lebih baik daripada ajaran Marx, agar kaum buruh bersedia berpihak kepada pengusaha.  Agar buruh tidak melakukan aksi maupun revolusi, pemilik modal harus bersedia memperbaiki nasib buruh, seperti yang dilakukan umumnya pada negara-negara kapitalis maju. Pemilik modal harus bersedia memberikan sebagian saham perusahaan kepada buruh, sehingga buruh merasa menjadi pemilik perusahaan, sehingga ada keinginan untuk menjaga bahkan mengembangkannya. Dengan demikian, tingkat revolusioner buruh akan berkurang. Sedangkan di negara-negara berkembang, pemilik kapital belum mampu memperbaiki nasib buruh, oleh sebab itu gerakan aksi dan revolusioner kaum buruh masih cukup tinggi. Ketidakmampuan pemilik modal untuk berbagi karena mereka didominasi oleh pemilik modal global dan digerogoti birokrasi.



[1] Aksi adalah suatu gerakan perlawanan, merupakan bagian revolusi atau tahap awal suatu revolusi. Adapun revolusi adalah suatu puncak dari seluruh jumlah aksi (tingkat aksi) yang membesar, meluas, mematang, terkoordinasi, terpimpin, dan terarah. Baik aksi maupun revolusi harus mempunyai tujuan yang jelas, kekuatan rakyat yang riil, dan pimpinan tepat dan cakap. Dalam Darsono. 2009. Budaya Organisasi. Jakarta: Nusantara Consulting
[2] ibid
[3] ibid

Wednesday, April 27, 2016

BURUH DALAM BUDAYA EKONOMI KAPITALIS


            Kegiatan ekonomi kapitalis hanya bertujuan mencari keuntungan. Pola pikir mereka hanyalah perhitungan untung-rugi. Semua milikinya diusahakan menjadi kapital dan komoditi dalam rangka mencari keuntungan. Dalam budaya ekonomi kapitalis, buruh/pekerja menjadi obyek manakala ia diberdayakan oleh para pemilik modal. Pengusaha yang memiliki modal bertindak sebagai subyek yang dapat menentukan pranata dan nilai sosial. Sedangkan manusia pekerja hanya bisa menjual kemampuannya dengan sistem kerja upahan. Kehidupan kaum buruh/pekerja ditentukan oleh upah yang diterima dari kaum pemilik modal. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan ciri utama sebagian masyarakat pekerja karena mereka tidak memiliki modal dan makin lama modal makin memusat ke tangan segelintir orang.

          Oleh karena itu, ada yang megatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam masyarakat adalah kaum pemilik modal. Banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa negara untuk melindungi pemilik modal. Negara hanya dijadikan alat kaum pemilik modal untuk memperoleh keuntungan baik lokal, nasional, maupun secara internasional. Meskipun kelompok pekerja/buruh diberi kebebasan untuk berbicara dan berorganisasi, aksi yang dilakukan sepanjang tidak mengganggu kepentingan para pemilik modal, hal ini disebabkan karena kelompok kapital yang mengerakan perekonomian. Sistem ini pada akhirnya melahirkan konflik yang berkepanjangan, tak terdamaikan antara kelompok kapitalis dengan kaum buruh/pekerja.

          Kondisi buruh dalam sistem kapitalisme dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu :
(1)  Buruh di negara-negara industri maju kapitalis seperti di Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris.
(2)  Buruh di negara feodal-kapitalisme yang sangat miskin karena negara-negara tersebut secara terselubung “dijajah” oleh negara-negara industri kapitalis maju.

Baik di negara-negara industri kapitalis maju maupun di negara-negara feodal-kapitalisme, kondisi buruh memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut[1] :
a.     Sebagai alat untuk mencapai sasaran dan tujuan perusahaan
b.   Manusia diprogram seperti robot; yang dihargai adalah prestasi kerjanya, bukan kemanusiaannya
c.     Manusia dipreteli kemanusiaannya melalui berbagai program kerja hingga terasing (alienasi) dengan :
-          Lingkungan kerja : buruh hanya sebagai alat produksi
-          Lingkungan sosial : komunikasi dengan masyarakat sekitarnya terbatas karena waktunya habis untuk bekerja
-     Lingkungan politik : buruh apatis terhadap kehidupan politik karena mereka disimpit oleh kemiskinan sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam politik.
-   Dirinya sendiri : buruh hidup seperti robot yang menjalankan alat kerja sehingga mereka sendiri tidak tau keberadaannya.
d.     Kebutuhan hidup pokok tidak terpenuhi, karena kaum kapitalis hanya membayar  upah untuk mengganti energi yang dikeluarkan
e.    Struktur pekerja terdiri atas manajer puncak, manajer madya, manajer lini, dan  pekerja
f.      Manajer puncak, madya dan lini tercukupi kebutuhannya pokoknya secara layak,  sedangkan kelompok pekerja/buruh tetap miskin, menderita, dan sengsara
g.       Terjadi proses pemiskinan struktural

Karakteristik buruh seperti diatas karena hakikatnya, tujuan  perusahaan hanya mengejar keuntungan dan memaksimumkan  nilai perusahaan.



[1] Darsono. 2009. Budaya Organisasi. Jakarta : Nusantara Consulting

Monday, April 25, 2016

REVOLUSI MEDIA DIGITAL DAN DAMPAKNYA 
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT 


Teori ini mengaitkan kemajuan teknologi dengan lahirnya peradaban atau budaya baru, yang sedikitnya menjelaskan bahwa : “teknologi ketika digunakan secara terstruktur, menimbilkan dampak yang sedemikian luas diantara para penggunanya sehingga membentuk kebiasaan (habit) baru, yang pada gilirannya akan memunculkan budaya baru. Budaya baru akan menetapkan standar norma dan moral yang baru, standar perilaku yang baru, standar tata kehidupan yang baru, dan pada akhirnya melahirkan generasi manusia yang baru. 
 Dengan perkembangan teknologi, melahirkan masyarakat yang terdiri dari 2 tipe yakni digital immigrant dan digital native. Digital immigrant  adalah sebutan bagi kelompok masyarakat yang lahir saat dunia belum terdigitalisasi seperti sekarang ini. Mereka semula golongan ‘analog’ yang harus berimigrasi pada dunia digital. Sedangkan digital native  adalahh sebutan bagi warga dunia yang lahir saat dunia telah terdigitalisasi atau berkembang menuju proses digitalisasi/ Perilaku atau budaya kedua kelompok masyarakat sangat berbeda satu sama lain. Nilai-nilai kedua tipe masyarakat ini juga berbeda. Ketika dua kelompok masyarakat  ini bertemu, sering terjadi ‘clash’ , karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan sifat, dan perbedaan nilai[1].
Era perkembangan teknologi digital sekarang ini, ditandai dengan aktifnya masyarakat dalam media sosial. Di era digital ini, demografi khalayak media sosial terdiri dari 2 tipe masyarakat tadi, yaitu warga asli digital (digital native) dan migran digital (digital migrant). Segmentasi teknografis sosial terdiri dari tujuh kelompok[2] :

1.     Creator, yakni khalayak yang memiliki sejumlah media sosial da aktif mengisi dan memperbaharui (up date); khalayak ini aktif menulis blog, mengunggah artikel/video/musik,   yang disebar dan di re-tweet oleh para pengikutnya. Pada umumnya, khalayak ini memiliki banyak teman, pengikut, dan penggemar, yang senantiasa mengikuti perkembangan berita, pemikiran, informasi, maupun pesan yang mereka sampaikan.
2.     Conversationalists, yakni khalayak yang aktif membangun percakapan dengan memperbaharui status  atau tweet namun intensitasnya tidak sebanyak tipe creator .
3.   Critics, khalayak yang lebih banyak menanggapi isi yang dibuat orang lain daripada mengunggah gagasan ata karyanya sendiri; khalayak ini gemar membuat ulasan, menulis komentar dalam blog dan media sosial, aktif berdiskusi di forum sosial serta menyunting artikel di wikipedia.
4.     Collectors, khalayak yang gemar mengikuti berbagai media sosial, mengunduh isinya dan menyimpannya dengan teratur; khalayak ini proaktif melanggan dan menggali informasi dari berbagai situs yang dianggap penting dengan menggunakan fasilitas really simple syndication (RSS) feeds, tags, dan sebagainya; khalayak ini juga kerap menjadi sumber rujukan orang-orang disekitarnya karena memiliki banyak informasi yang berguna.
5.   Joiners, yakni khalayak yang gemar bergabung di berbagai media jejaring sosial, tetapi tidak terlalu aktif menyampaikan status, gagasan atau aspirasinya.
6.    Spectators, khalayak yang gemar membaca blog dan berbagai media sosial, menonton video you tube, mengunduh (down-load) musik dari internet, mengikuti diskusi di berbagai forum media sosial, dan mengulas isinya, tetapi cenderung tidak memberikan komentar, penilaian (rating), atau me-retweet dan berbagi informasi atau pesan yang diterimanya.
7.   Inactive, yakni khalayak yang tidak memiliki atau mengikuti media sosial apapun;

Di Indonesia, gelombang teknologi yang pesat dengan perangkat digital yang semakin murah, harga smartphone  semakin terjangkau, sayangnya tidak disertai dengan kemampuan literasi, tidak heran jika banyak masyarakat yang tersesat dalam informasi-informasi yang tidak akurat atau cenderung mengandung konten yang tidak lebih mendorong kebohongan atau pembodohan publik, terlebih lagi jika perang informasi disampaikan  berdimensi politis. Dapat kita amati, media sosial menjadi media gratis dalam melakukan kampanye pemilu atau pilkada bahkan dijadikan sarana untuk meraih simpati/dukungan massa dengan cara menjatuhkan lawannya. Sehingga dapat dikatakan untuk saat ini teknologi informasi masih gagal dalam menciptakan masyarakat yang informatif dan pelaksanaan demokrasi yang sehat.
Literasi adalah sejenis life skill atau ketrampilan hidup dalam mengunakan media atau  memanfaatkan informasi, kemampuan mengakses, menggunakan media, menyeleksi isi, memanfaatkan sesuai dengan fungsi, hingga menciptakan media dan konten. Tanpa literasi, maka kemajuan teknologi komunikasi hanya menghasilkan kekacauan. Banjirnya informasi, merajalelanya berita hoax, maraknya media abal-abal, perilaku ekstrem seperti kecanduan selfie, clicking monkeys (klik dan share tanpa menyaring kredibilitas informasi), hingga slacktivism, sebagai tanda-tanda defisit literasi sebuah masyarakat. Bahayanya, revolusi media digital  tidak setara kemajuannya dengan revolusi kultural. Tidak heran, masalah-masalah disharmoni sosial, masalah politis dan etis menjadi persoalan baru dalam kehidupan kita.   





[1] Santi Indra Astuti, Tantangan Etis Media Sosial Bagi Pelayanan Publik, makalah disampaikan pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Komnikasi Media Sosial DI Lingkungan SKPD Kota Bandung Tahun 2016.
[2] Permenpan Nomor 83 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah

PROSES PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK SCL

             Belajar bukan sekedar mendapat pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan pengetahuan tersebut pada analisis yang kritis, krea...