REVOLUSI MEDIA DIGITAL DAN DAMPAKNYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Teori ini
mengaitkan kemajuan teknologi dengan lahirnya peradaban atau budaya baru, yang
sedikitnya menjelaskan bahwa : “teknologi ketika digunakan secara terstruktur,
menimbilkan dampak yang sedemikian luas diantara para penggunanya sehingga
membentuk kebiasaan (habit) baru,
yang pada gilirannya akan memunculkan budaya baru. Budaya baru akan menetapkan
standar norma dan moral yang baru, standar perilaku yang baru, standar tata
kehidupan yang baru, dan pada akhirnya melahirkan generasi manusia yang baru.
Dengan perkembangan teknologi, melahirkan
masyarakat yang terdiri dari 2 tipe yakni digital
immigrant dan digital native. Digital
immigrant adalah sebutan bagi
kelompok masyarakat yang lahir saat dunia belum terdigitalisasi seperti
sekarang ini. Mereka semula golongan ‘analog’ yang harus berimigrasi pada dunia
digital. Sedangkan digital native adalahh sebutan bagi warga dunia yang lahir
saat dunia telah terdigitalisasi atau berkembang menuju proses digitalisasi/
Perilaku atau budaya kedua kelompok masyarakat sangat berbeda satu sama lain.
Nilai-nilai kedua tipe masyarakat ini juga berbeda. Ketika dua kelompok
masyarakat ini bertemu, sering terjadi ‘clash’ , karena adanya perbedaan budaya,
kebiasaan sifat, dan perbedaan nilai[1].
Era perkembangan
teknologi digital sekarang ini, ditandai dengan aktifnya masyarakat dalam media
sosial. Di era digital ini, demografi khalayak media sosial terdiri dari 2 tipe
masyarakat tadi, yaitu warga asli digital (digital
native) dan migran digital (digital
migrant). Segmentasi teknografis sosial terdiri dari tujuh kelompok[2] :
1.
Creator, yakni khalayak yang memiliki
sejumlah media sosial da aktif mengisi dan memperbaharui (up date); khalayak ini aktif menulis blog, mengunggah artikel/video/musik,
yang disebar dan di re-tweet oleh para pengikutnya. Pada umumnya, khalayak ini memiliki
banyak teman, pengikut, dan penggemar, yang senantiasa mengikuti perkembangan
berita, pemikiran, informasi, maupun pesan yang mereka sampaikan.
2.
Conversationalists, yakni khalayak yang aktif
membangun percakapan dengan memperbaharui status atau tweet namun intensitasnya tidak sebanyak
tipe creator .
3. Critics, khalayak yang lebih banyak
menanggapi isi yang dibuat orang lain daripada mengunggah gagasan ata karyanya
sendiri; khalayak ini gemar membuat ulasan, menulis komentar dalam blog dan
media sosial, aktif berdiskusi di forum sosial serta menyunting artikel di
wikipedia.
4.
Collectors, khalayak yang gemar mengikuti
berbagai media sosial, mengunduh isinya dan menyimpannya dengan teratur;
khalayak ini proaktif melanggan dan menggali informasi dari berbagai situs yang
dianggap penting dengan menggunakan fasilitas really simple syndication (RSS) feeds, tags, dan sebagainya;
khalayak ini juga kerap menjadi sumber rujukan orang-orang disekitarnya karena
memiliki banyak informasi yang berguna.
5. Joiners, yakni khalayak yang gemar
bergabung di berbagai media jejaring sosial, tetapi tidak terlalu aktif
menyampaikan status, gagasan atau aspirasinya.
6. Spectators, khalayak yang gemar membaca blog dan berbagai media sosial, menonton
video you tube, mengunduh (down-load) musik dari internet, mengikuti diskusi di
berbagai forum media sosial, dan mengulas isinya, tetapi cenderung tidak memberikan
komentar, penilaian (rating), atau
me-retweet dan berbagi informasi atau
pesan yang diterimanya.
7. Inactive, yakni khalayak yang tidak
memiliki atau mengikuti media sosial apapun;
Di
Indonesia, gelombang teknologi yang pesat dengan perangkat digital yang semakin
murah, harga smartphone semakin terjangkau, sayangnya tidak disertai
dengan kemampuan literasi, tidak heran jika banyak masyarakat yang tersesat
dalam informasi-informasi yang tidak akurat atau cenderung mengandung konten
yang tidak lebih mendorong kebohongan atau pembodohan publik, terlebih lagi jika
perang informasi disampaikan berdimensi
politis. Dapat kita amati, media sosial menjadi media gratis dalam melakukan
kampanye pemilu atau pilkada bahkan dijadikan sarana untuk meraih
simpati/dukungan massa dengan cara menjatuhkan lawannya. Sehingga dapat
dikatakan untuk saat ini teknologi informasi masih gagal dalam menciptakan
masyarakat yang informatif dan pelaksanaan demokrasi yang sehat.
Literasi
adalah sejenis life skill atau
ketrampilan hidup dalam mengunakan media atau
memanfaatkan informasi, kemampuan mengakses, menggunakan media,
menyeleksi isi, memanfaatkan sesuai dengan fungsi, hingga menciptakan media dan
konten. Tanpa literasi, maka kemajuan teknologi komunikasi hanya menghasilkan kekacauan.
Banjirnya informasi, merajalelanya berita hoax,
maraknya media abal-abal, perilaku ekstrem seperti kecanduan selfie, clicking monkeys (klik dan share tanpa
menyaring kredibilitas informasi), hingga slacktivism,
sebagai tanda-tanda defisit literasi sebuah masyarakat. Bahayanya, revolusi
media digital tidak setara kemajuannya
dengan revolusi kultural. Tidak heran, masalah-masalah disharmoni sosial,
masalah politis dan etis menjadi persoalan baru dalam kehidupan kita.
No comments:
Post a Comment