Monday, April 25, 2016

REVOLUSI MEDIA DIGITAL DAN DAMPAKNYA 
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT 


Teori ini mengaitkan kemajuan teknologi dengan lahirnya peradaban atau budaya baru, yang sedikitnya menjelaskan bahwa : “teknologi ketika digunakan secara terstruktur, menimbilkan dampak yang sedemikian luas diantara para penggunanya sehingga membentuk kebiasaan (habit) baru, yang pada gilirannya akan memunculkan budaya baru. Budaya baru akan menetapkan standar norma dan moral yang baru, standar perilaku yang baru, standar tata kehidupan yang baru, dan pada akhirnya melahirkan generasi manusia yang baru. 
 Dengan perkembangan teknologi, melahirkan masyarakat yang terdiri dari 2 tipe yakni digital immigrant dan digital native. Digital immigrant  adalah sebutan bagi kelompok masyarakat yang lahir saat dunia belum terdigitalisasi seperti sekarang ini. Mereka semula golongan ‘analog’ yang harus berimigrasi pada dunia digital. Sedangkan digital native  adalahh sebutan bagi warga dunia yang lahir saat dunia telah terdigitalisasi atau berkembang menuju proses digitalisasi/ Perilaku atau budaya kedua kelompok masyarakat sangat berbeda satu sama lain. Nilai-nilai kedua tipe masyarakat ini juga berbeda. Ketika dua kelompok masyarakat  ini bertemu, sering terjadi ‘clash’ , karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan sifat, dan perbedaan nilai[1].
Era perkembangan teknologi digital sekarang ini, ditandai dengan aktifnya masyarakat dalam media sosial. Di era digital ini, demografi khalayak media sosial terdiri dari 2 tipe masyarakat tadi, yaitu warga asli digital (digital native) dan migran digital (digital migrant). Segmentasi teknografis sosial terdiri dari tujuh kelompok[2] :

1.     Creator, yakni khalayak yang memiliki sejumlah media sosial da aktif mengisi dan memperbaharui (up date); khalayak ini aktif menulis blog, mengunggah artikel/video/musik,   yang disebar dan di re-tweet oleh para pengikutnya. Pada umumnya, khalayak ini memiliki banyak teman, pengikut, dan penggemar, yang senantiasa mengikuti perkembangan berita, pemikiran, informasi, maupun pesan yang mereka sampaikan.
2.     Conversationalists, yakni khalayak yang aktif membangun percakapan dengan memperbaharui status  atau tweet namun intensitasnya tidak sebanyak tipe creator .
3.   Critics, khalayak yang lebih banyak menanggapi isi yang dibuat orang lain daripada mengunggah gagasan ata karyanya sendiri; khalayak ini gemar membuat ulasan, menulis komentar dalam blog dan media sosial, aktif berdiskusi di forum sosial serta menyunting artikel di wikipedia.
4.     Collectors, khalayak yang gemar mengikuti berbagai media sosial, mengunduh isinya dan menyimpannya dengan teratur; khalayak ini proaktif melanggan dan menggali informasi dari berbagai situs yang dianggap penting dengan menggunakan fasilitas really simple syndication (RSS) feeds, tags, dan sebagainya; khalayak ini juga kerap menjadi sumber rujukan orang-orang disekitarnya karena memiliki banyak informasi yang berguna.
5.   Joiners, yakni khalayak yang gemar bergabung di berbagai media jejaring sosial, tetapi tidak terlalu aktif menyampaikan status, gagasan atau aspirasinya.
6.    Spectators, khalayak yang gemar membaca blog dan berbagai media sosial, menonton video you tube, mengunduh (down-load) musik dari internet, mengikuti diskusi di berbagai forum media sosial, dan mengulas isinya, tetapi cenderung tidak memberikan komentar, penilaian (rating), atau me-retweet dan berbagi informasi atau pesan yang diterimanya.
7.   Inactive, yakni khalayak yang tidak memiliki atau mengikuti media sosial apapun;

Di Indonesia, gelombang teknologi yang pesat dengan perangkat digital yang semakin murah, harga smartphone  semakin terjangkau, sayangnya tidak disertai dengan kemampuan literasi, tidak heran jika banyak masyarakat yang tersesat dalam informasi-informasi yang tidak akurat atau cenderung mengandung konten yang tidak lebih mendorong kebohongan atau pembodohan publik, terlebih lagi jika perang informasi disampaikan  berdimensi politis. Dapat kita amati, media sosial menjadi media gratis dalam melakukan kampanye pemilu atau pilkada bahkan dijadikan sarana untuk meraih simpati/dukungan massa dengan cara menjatuhkan lawannya. Sehingga dapat dikatakan untuk saat ini teknologi informasi masih gagal dalam menciptakan masyarakat yang informatif dan pelaksanaan demokrasi yang sehat.
Literasi adalah sejenis life skill atau ketrampilan hidup dalam mengunakan media atau  memanfaatkan informasi, kemampuan mengakses, menggunakan media, menyeleksi isi, memanfaatkan sesuai dengan fungsi, hingga menciptakan media dan konten. Tanpa literasi, maka kemajuan teknologi komunikasi hanya menghasilkan kekacauan. Banjirnya informasi, merajalelanya berita hoax, maraknya media abal-abal, perilaku ekstrem seperti kecanduan selfie, clicking monkeys (klik dan share tanpa menyaring kredibilitas informasi), hingga slacktivism, sebagai tanda-tanda defisit literasi sebuah masyarakat. Bahayanya, revolusi media digital  tidak setara kemajuannya dengan revolusi kultural. Tidak heran, masalah-masalah disharmoni sosial, masalah politis dan etis menjadi persoalan baru dalam kehidupan kita.   





[1] Santi Indra Astuti, Tantangan Etis Media Sosial Bagi Pelayanan Publik, makalah disampaikan pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Komnikasi Media Sosial DI Lingkungan SKPD Kota Bandung Tahun 2016.
[2] Permenpan Nomor 83 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah

No comments:

Post a Comment

PROSES PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK SCL

             Belajar bukan sekedar mendapat pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan pengetahuan tersebut pada analisis yang kritis, krea...