Thursday, April 28, 2016

BUDAYA BURUH : BAGIAN 2

          Budaya buruh adalah pola pikir dan perilaku buruh untuk memperbaiki nasib melalui berbagai aksi kemudian meningkat menjadi revolusi[1]. Budaya bururh lahir berdasarkan pada kondisi obyektifnya, bahwa sepanjang sejarah kapitalisme, nasib buruh nyatanya makin sengsara. Cara mereka mengubah nasibnya adalah melalui aksi dan revolusi. Dengan cara demikian, buruh yakin bahwa nasibnya akan lebih baik melalui pengubahan sistem ekonomi, yaitu dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi sosialis, atau dari sistem ekonomi imperialis menjadi sistem ekonomi kerakyatan[2]. Aksi buruh lahir dari kondisi kehidupan sosial-kapitalis yang penuh dengan konflik, baik konflik ekonomi, sosial, maupun politik.
          Dalam melakukan aksi untuk mengubah dirinya, buruh harus berbekal teori. Tanpa teori, pelaksanaan aksis tidak akan tercapai secara efektif dan mengenai sasaran. Dalam teori aksi, beberapa elemen atau unsur-unsur yang ada dalam aksi adalah sebagai berikut[3] :
1.    Sifat aksi
Aksi buruh dapat bersifat ekonomi, sosial, dan politik. Aksi buruh juga dapat berskala nasional dan lokal. Selain itu, aksi buruh dapat bersifat komunal maupun individual, terkoordinasi ataupun sporadis, terpisah-pisah ataupun meluas. Aksi buruh pada awalnya menuntut perbaikan ekonomi. Apabila tidak dipenuhi, kemudia ia dapat berkembang menjadi aksi sosial. Setiap ada persamaan wacana tentang ketimpangan ekonomi dan sosial, buruh bisa jadi bergabung dengan aksi sosial sebagi wujud solidaritas sosial dan sekaligus membentuk front persatuan sebagai kekuatan menentang ketidakadilan sosial. Ketika aksi ekonomi dan sosial dipandang merugikan, dan pemilik modal dilindungi oleh kekuasaan politik, maka aksi sosial tadi dapat berkembang menjadi aksi politik, yakni aksi yang menuntut penggantian pejabat pemerintah atau mengganti lembaga pemerintahan yang dianggap tidak mampu mengakomodir kepentingan buruh dan masyarakat.
2.    Tingkatan aksi
Tingkatan aksi buruh dapat besar atau kecil, berat atau ringan, semua itu merupakan bagian suatu revolusi, atau menuju proses terjadinya revolusi. Aksi buruh yang gagal tidak berarti negatif, tetapi juga mempunyai arti positif, karena dari pengalaman kegagalan (kekalahan) itu kaum revolusioner dapat menarik pelajaran, sehingga kaum revolusioner makin terdidik dan terlatih. Kegagalan mendorong keberanian dan kemampuan berlawannya akan makin besar dan meningkat. Aksi buruh tidak boleh bersifat spekulatif. Aksi yang benar walaupun kecil harus dilakukan dengan perhitungan dan tanpa keraguan  walaupun kemenangan belum pasti diraih.
3.    Proses aksi
Proses aksi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat, yaitu dapat dimulai dari bertanya, usul, protes, menuntut, menentang, dan akhirnya sampai perlawanan. Proses aksi dimulai dari pengiriman delegasi kecil sampai delegasi besar, dari aksi sebagian-sebagian sampai aksi total menyeluruh, aksi jangka pendek hingga aksi jangka panjang.
4.    Syarat-syarat aksi
Syarat-syarat aksi harus benar-benar diperhatikan sebelum aksi dimulai atau dilakukan. Syarat-syarat aksi itu ialah : (1) motif yang jelas sebagai dasar alasan suatu aksi dilakukan; (2) objektifitas tuntutan, tuntutan yang wajar dan kemungkinan dapat dipenuhi; (3) sasaran yang tepat, aksi ditujukan langsung kepada persoalan obyektif dan pemegang kendali, atau kepada aparat atau tangan-tangan dari pemegang kendali; (4) dapat dipahami dan didukung oleh massa yang berkepentingan, artinya massa yang mendukung merasa berkepentingan  dan memahami persoalan; (5)dapat menarik front atau tidak menambah lawan, massa atau golongan lain bisa memahami atau bahkan membantu aksi, atau massa pendukung aksi tidak berfihak pada lawan; (6) persiapan yang cukup, aksi yang dilakukan tidak bersifat spontan atau sudah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi, barisan yang disiapkan dinilai kuat dan solid. Aksi yang spontan dengan tanpa perhitungan yang matang biasanya gagal mencapai sasaran, bahkan bisa merusak tujuan aksi  sehingga dapat melemahkan kekuatan.
5.    Kekuatan aksi
Setiap aksi harus mempunyai kekuatan. Dalam aksi harus sudah disiapkan dan terpimpin secara baik, massa yang bergerak dengan kekuatan pelopor (barisan depan), kekuatan inti (ditengah-tengah) dan kekuatan basis (yang mendukung dan membentengi). Disamping kekuatan-kekuatan tersebut diatas, ada juga yang disebut dengan kekuatan front, yakni kekuatan di luar  kekuatan intern yang memiliki kepentingan yang sama, mereka kemudian bergabung, mendukung dan melakukan aksi bersama-sama. Namun demikian, kekuatan front tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan menang-kalahnya suatu aksi. Kekuatan front  hanya kekuatan tambahan yang dapat mempercepat kemenangan. Oleh karena itu, penentuan berhasil atau tidaknya aksi buruh sangat ditentukan oleh kekuatan intern-nya.
6.    Strategi dan Taktik Aksi
Setiap aksi harus memiliki target yang akan dicapai. Pencapaian target tersebut dapat ditempuh dengan cara perundingan/negosiasi atau kompromi. Kompromi merupakan takti dari perjuangan aksi dengan cara mendekatkan diri pada target yang dituju. Namun demikian, kompromi harus tetap berpegang teguh pada sasaran/target yang sudah ditetapkan
          Aksi buruh harus menjadi perhatian kamum kapitalis, karena buruh biasanya menggunakan ajaran Marx sebagai senjata moral perjuangan. Oleh karena itu, kaum kapitalis harus memiliki ajaran yang lebih baik daripada ajaran Marx, agar kaum buruh bersedia berpihak kepada pengusaha.  Agar buruh tidak melakukan aksi maupun revolusi, pemilik modal harus bersedia memperbaiki nasib buruh, seperti yang dilakukan umumnya pada negara-negara kapitalis maju. Pemilik modal harus bersedia memberikan sebagian saham perusahaan kepada buruh, sehingga buruh merasa menjadi pemilik perusahaan, sehingga ada keinginan untuk menjaga bahkan mengembangkannya. Dengan demikian, tingkat revolusioner buruh akan berkurang. Sedangkan di negara-negara berkembang, pemilik kapital belum mampu memperbaiki nasib buruh, oleh sebab itu gerakan aksi dan revolusioner kaum buruh masih cukup tinggi. Ketidakmampuan pemilik modal untuk berbagi karena mereka didominasi oleh pemilik modal global dan digerogoti birokrasi.



[1] Aksi adalah suatu gerakan perlawanan, merupakan bagian revolusi atau tahap awal suatu revolusi. Adapun revolusi adalah suatu puncak dari seluruh jumlah aksi (tingkat aksi) yang membesar, meluas, mematang, terkoordinasi, terpimpin, dan terarah. Baik aksi maupun revolusi harus mempunyai tujuan yang jelas, kekuatan rakyat yang riil, dan pimpinan tepat dan cakap. Dalam Darsono. 2009. Budaya Organisasi. Jakarta: Nusantara Consulting
[2] ibid
[3] ibid

Wednesday, April 27, 2016

BURUH DALAM BUDAYA EKONOMI KAPITALIS


            Kegiatan ekonomi kapitalis hanya bertujuan mencari keuntungan. Pola pikir mereka hanyalah perhitungan untung-rugi. Semua milikinya diusahakan menjadi kapital dan komoditi dalam rangka mencari keuntungan. Dalam budaya ekonomi kapitalis, buruh/pekerja menjadi obyek manakala ia diberdayakan oleh para pemilik modal. Pengusaha yang memiliki modal bertindak sebagai subyek yang dapat menentukan pranata dan nilai sosial. Sedangkan manusia pekerja hanya bisa menjual kemampuannya dengan sistem kerja upahan. Kehidupan kaum buruh/pekerja ditentukan oleh upah yang diterima dari kaum pemilik modal. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan ciri utama sebagian masyarakat pekerja karena mereka tidak memiliki modal dan makin lama modal makin memusat ke tangan segelintir orang.

          Oleh karena itu, ada yang megatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam masyarakat adalah kaum pemilik modal. Banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat penguasa negara untuk melindungi pemilik modal. Negara hanya dijadikan alat kaum pemilik modal untuk memperoleh keuntungan baik lokal, nasional, maupun secara internasional. Meskipun kelompok pekerja/buruh diberi kebebasan untuk berbicara dan berorganisasi, aksi yang dilakukan sepanjang tidak mengganggu kepentingan para pemilik modal, hal ini disebabkan karena kelompok kapital yang mengerakan perekonomian. Sistem ini pada akhirnya melahirkan konflik yang berkepanjangan, tak terdamaikan antara kelompok kapitalis dengan kaum buruh/pekerja.

          Kondisi buruh dalam sistem kapitalisme dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu :
(1)  Buruh di negara-negara industri maju kapitalis seperti di Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris.
(2)  Buruh di negara feodal-kapitalisme yang sangat miskin karena negara-negara tersebut secara terselubung “dijajah” oleh negara-negara industri kapitalis maju.

Baik di negara-negara industri kapitalis maju maupun di negara-negara feodal-kapitalisme, kondisi buruh memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut[1] :
a.     Sebagai alat untuk mencapai sasaran dan tujuan perusahaan
b.   Manusia diprogram seperti robot; yang dihargai adalah prestasi kerjanya, bukan kemanusiaannya
c.     Manusia dipreteli kemanusiaannya melalui berbagai program kerja hingga terasing (alienasi) dengan :
-          Lingkungan kerja : buruh hanya sebagai alat produksi
-          Lingkungan sosial : komunikasi dengan masyarakat sekitarnya terbatas karena waktunya habis untuk bekerja
-     Lingkungan politik : buruh apatis terhadap kehidupan politik karena mereka disimpit oleh kemiskinan sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam politik.
-   Dirinya sendiri : buruh hidup seperti robot yang menjalankan alat kerja sehingga mereka sendiri tidak tau keberadaannya.
d.     Kebutuhan hidup pokok tidak terpenuhi, karena kaum kapitalis hanya membayar  upah untuk mengganti energi yang dikeluarkan
e.    Struktur pekerja terdiri atas manajer puncak, manajer madya, manajer lini, dan  pekerja
f.      Manajer puncak, madya dan lini tercukupi kebutuhannya pokoknya secara layak,  sedangkan kelompok pekerja/buruh tetap miskin, menderita, dan sengsara
g.       Terjadi proses pemiskinan struktural

Karakteristik buruh seperti diatas karena hakikatnya, tujuan  perusahaan hanya mengejar keuntungan dan memaksimumkan  nilai perusahaan.



[1] Darsono. 2009. Budaya Organisasi. Jakarta : Nusantara Consulting

Monday, April 25, 2016

REVOLUSI MEDIA DIGITAL DAN DAMPAKNYA 
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT 


Teori ini mengaitkan kemajuan teknologi dengan lahirnya peradaban atau budaya baru, yang sedikitnya menjelaskan bahwa : “teknologi ketika digunakan secara terstruktur, menimbilkan dampak yang sedemikian luas diantara para penggunanya sehingga membentuk kebiasaan (habit) baru, yang pada gilirannya akan memunculkan budaya baru. Budaya baru akan menetapkan standar norma dan moral yang baru, standar perilaku yang baru, standar tata kehidupan yang baru, dan pada akhirnya melahirkan generasi manusia yang baru. 
 Dengan perkembangan teknologi, melahirkan masyarakat yang terdiri dari 2 tipe yakni digital immigrant dan digital native. Digital immigrant  adalah sebutan bagi kelompok masyarakat yang lahir saat dunia belum terdigitalisasi seperti sekarang ini. Mereka semula golongan ‘analog’ yang harus berimigrasi pada dunia digital. Sedangkan digital native  adalahh sebutan bagi warga dunia yang lahir saat dunia telah terdigitalisasi atau berkembang menuju proses digitalisasi/ Perilaku atau budaya kedua kelompok masyarakat sangat berbeda satu sama lain. Nilai-nilai kedua tipe masyarakat ini juga berbeda. Ketika dua kelompok masyarakat  ini bertemu, sering terjadi ‘clash’ , karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan sifat, dan perbedaan nilai[1].
Era perkembangan teknologi digital sekarang ini, ditandai dengan aktifnya masyarakat dalam media sosial. Di era digital ini, demografi khalayak media sosial terdiri dari 2 tipe masyarakat tadi, yaitu warga asli digital (digital native) dan migran digital (digital migrant). Segmentasi teknografis sosial terdiri dari tujuh kelompok[2] :

1.     Creator, yakni khalayak yang memiliki sejumlah media sosial da aktif mengisi dan memperbaharui (up date); khalayak ini aktif menulis blog, mengunggah artikel/video/musik,   yang disebar dan di re-tweet oleh para pengikutnya. Pada umumnya, khalayak ini memiliki banyak teman, pengikut, dan penggemar, yang senantiasa mengikuti perkembangan berita, pemikiran, informasi, maupun pesan yang mereka sampaikan.
2.     Conversationalists, yakni khalayak yang aktif membangun percakapan dengan memperbaharui status  atau tweet namun intensitasnya tidak sebanyak tipe creator .
3.   Critics, khalayak yang lebih banyak menanggapi isi yang dibuat orang lain daripada mengunggah gagasan ata karyanya sendiri; khalayak ini gemar membuat ulasan, menulis komentar dalam blog dan media sosial, aktif berdiskusi di forum sosial serta menyunting artikel di wikipedia.
4.     Collectors, khalayak yang gemar mengikuti berbagai media sosial, mengunduh isinya dan menyimpannya dengan teratur; khalayak ini proaktif melanggan dan menggali informasi dari berbagai situs yang dianggap penting dengan menggunakan fasilitas really simple syndication (RSS) feeds, tags, dan sebagainya; khalayak ini juga kerap menjadi sumber rujukan orang-orang disekitarnya karena memiliki banyak informasi yang berguna.
5.   Joiners, yakni khalayak yang gemar bergabung di berbagai media jejaring sosial, tetapi tidak terlalu aktif menyampaikan status, gagasan atau aspirasinya.
6.    Spectators, khalayak yang gemar membaca blog dan berbagai media sosial, menonton video you tube, mengunduh (down-load) musik dari internet, mengikuti diskusi di berbagai forum media sosial, dan mengulas isinya, tetapi cenderung tidak memberikan komentar, penilaian (rating), atau me-retweet dan berbagi informasi atau pesan yang diterimanya.
7.   Inactive, yakni khalayak yang tidak memiliki atau mengikuti media sosial apapun;

Di Indonesia, gelombang teknologi yang pesat dengan perangkat digital yang semakin murah, harga smartphone  semakin terjangkau, sayangnya tidak disertai dengan kemampuan literasi, tidak heran jika banyak masyarakat yang tersesat dalam informasi-informasi yang tidak akurat atau cenderung mengandung konten yang tidak lebih mendorong kebohongan atau pembodohan publik, terlebih lagi jika perang informasi disampaikan  berdimensi politis. Dapat kita amati, media sosial menjadi media gratis dalam melakukan kampanye pemilu atau pilkada bahkan dijadikan sarana untuk meraih simpati/dukungan massa dengan cara menjatuhkan lawannya. Sehingga dapat dikatakan untuk saat ini teknologi informasi masih gagal dalam menciptakan masyarakat yang informatif dan pelaksanaan demokrasi yang sehat.
Literasi adalah sejenis life skill atau ketrampilan hidup dalam mengunakan media atau  memanfaatkan informasi, kemampuan mengakses, menggunakan media, menyeleksi isi, memanfaatkan sesuai dengan fungsi, hingga menciptakan media dan konten. Tanpa literasi, maka kemajuan teknologi komunikasi hanya menghasilkan kekacauan. Banjirnya informasi, merajalelanya berita hoax, maraknya media abal-abal, perilaku ekstrem seperti kecanduan selfie, clicking monkeys (klik dan share tanpa menyaring kredibilitas informasi), hingga slacktivism, sebagai tanda-tanda defisit literasi sebuah masyarakat. Bahayanya, revolusi media digital  tidak setara kemajuannya dengan revolusi kultural. Tidak heran, masalah-masalah disharmoni sosial, masalah politis dan etis menjadi persoalan baru dalam kehidupan kita.   





[1] Santi Indra Astuti, Tantangan Etis Media Sosial Bagi Pelayanan Publik, makalah disampaikan pada kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Komnikasi Media Sosial DI Lingkungan SKPD Kota Bandung Tahun 2016.
[2] Permenpan Nomor 83 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah
BUDAYA BURUH  : BAGIAN 1


            Budaya buruh adalah pola pikir dan perilaku individu dalam upaya memperoleh upah yang layak. Buruh menyadari bahwa tenaga dan pikirannya adalah barang dagangan yang dijual di pasar tenaga kerja. Upah merupakan harga yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran[1]. Manusia memiliki kebutuhan materil yang merupakan kebutuhan primer dalam hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan. Selain kebutuhan materil, manusia juga memiliki kebutuhan spirituil dan kebutuhan sekunder untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan jiwa serta pikiran. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan manusia harus seimbang, disamping terpenuhinya kebutuhan primer juga terpenuhi kebutuhan sekunder dan kebuthan jiwa seperti hiburan dan  memperoleh  pendidikan. Kebutuhan materill sebagai kebutuhan primer bersifat mutlak bagi kelangsungan hidup manusia. Sedangkan kebutuhan sekunder dan kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan relatif. Namun demikian, kebutuhan sekunder dan kebutuhan spiritual tetap penting dan diperlukan  bagi  kehidupan manusia yang lebih baik.
            Kebutuhan materil manusia dapat diperoleh dengan cara bekerja atau melakukan produksi. Manusia adalah makhluk berakal, dengan kemampuannya, manusia dapat mengubah obyek alam maupun sosial menjadi barang-barang dan jasa, atau lainnya yang bermanfaat bagi manusia. Dalam proses produksi, manusia perlu melakukan hubungan dengan manusia lain yang disebut dengan hubungan produksi. Oleh karena itu, produksi bersifat sosial, karena dalam menghasilkan suatau barang/jasa  merupakan hasil kerjasama di antara manusia. Oleh karena itu, menurut Marx, produksi pada hakikatnya menjadi milik bersama  untuk kepentingan bersama.
Hubungan produksi itu sendiri terdapat dua macam bentuk yakni hubungan produksi kerja sama dan hubungan produksi kerja penindasan[2]. Hubungan produksi kerja sama dilakukan secara sukarela  untuk kepentingan bersama, hasilnya milik bersama dan digunkan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Sedangkan hubungan kerja penindasan terbentuk secara terpaksa, untuk kepentingan sepihak atau perseorangan, hasil produksi menjadi milik kaum penindas untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum penindas. Bentuk dan sifat hubungan produksi ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemilikannya atas alat-alat produksi tersebut, bukan ditentukan oleh tenaga produktifnya. Dalam hubungan produksi dimana alat produksinya milik bersama seluruh masyarakat, berlangsung hubungan produksi kerjasama yang bersifat sosialis. Pada masyarakat sosialis, hasilnya menjadi milik bersama, semua pekerja mendapatkan bagian sesuai dengan hasil kerjanya. Sedangkan pada masyarakat komunis, semua pekerja mendapatkan bagian hasil kerja sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hubungan produksi dimana alat produksinya sebagai milik perseorangan, berlangsung hubungan produksi kerja penindasan yang bersifat penghisapan seperti yang berlangsung di dalam masyarakat pemilikan budak, masyarakat feodal, dan masyarakat kapitalis. Di dalam masyarakat pemilik budak, alat produksi milik tuan, dan hasil kerja para budak menjadi milik tuan, para budak tidak mendapat bagian sama sekali. Di dalam masyarakat feodal, alat produksi milik tuan, dan hasil kerja petani menjadi milik tuan tanah. Kaum tani hanya mendapat bagian yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan di masyarakat kapitalis, alat produksi milik tuan kapitalis, dan hasil kerja kaum buruh menjadi milik tuan kapitalis, kaum buruh mendapat bagian yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan pemilikan alat produksi sebagaimana penjelasan di atas, maka faktor pertukaran dan distribusi hasil produksi sangat ditentukan oleh pemilikan alat produksi. Artinya, barang siapa yang memiliki alat produksi maka merekalah yang menentukan pertukaran dan distribusi hasil produksi. Beda halnya dengan masyarakat komunal primitif. Dalam masyarakat komunal primitif, alat produksi menjadi milik kolektif, oleh karena itu berlangsunglah sistem ekonomi kolektif. Proses dan hubungan produksi dalam kehidupan ekonomi dan sosial dapat dilihat pada gambar berikut ini :


  



 Sumber : Darsono, 2009: 349



[1] Darsono. 2009. Budaya Organisasi. Jakarta: Nusantara Consulting, hal 343
[2] Ibid hal. 344

Sunday, April 24, 2016

KECENDERUNGAN BUDAYA POLITIK INDONESIA

Negara Indonesia adalah suatu negara yang bersifat pluralis (majemuk) dilihat dari aneka ragam suku bangsa, kebudayaan dan agama. Namun pluralitas yang dimiliki oleh bangsa kita tidak begitu menjadi persoalan  besar apabila keanekaragaman tersebut  tidak mewarnai orientasi politik masyarakat. Kenyataannya terdapat  perkaitan antara orientasi politik dengan nilai-nilai budaya yang bersumber pada pluralitas masyarakat. Menurut Syamsuddin (1995: 8), orientasi politik tidak saja didorong oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tetapi bisa saja merupakan masukan dari luar. Namun tanggapan anggota masyarakat  terhadap orientasi itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki.  Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi, dan kadang “membentuk” keseluruhan sikap masyarakat kemudian terpolakan menjadi orientasi politik masyarakat. Pada suatu negara yg masyarakatnya sangat pluralis seperti Indonesia dibutuhkan suatu upaya penyatuan nilai-nilai secara nasional dengan cara melakukan perubahan orientasi politik masyarakat.
Perubahan itu dapat dilakukan dengan cara paksa (indoktrinasi) maupun cara persuasif (sosialisasi politik). Yang menjadi masalahnya adalah sejauh mana masyarakat dapat menerima upaya pemerintah untuk menyatukan nilai-nilai tersebut dan memiliki kebanggaan sebagai anggota masyarakat dari suatu negara.
Untuk mengintegrasikan masyarakat yang memiliki orientasi-orientasi politik yang berbeda satu sama lain, the founding fathers  kita berusaha menyatukan nilai-nilai dan budaya-budaya lokal di Indonesia ke dalam satu motto nasional yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya persatuan dalam keanekaragaman.
Di awal kemerdekaan, proses persatuan dan kesatuan bangsa  sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan nasional. Pemerintah melancarkan strategi nasional  untuk menyatukan keanekaragaman nilai dan budaya di bawah payung asas tunggal Pancasila.
Nazaruddin Syamsudin (1995: 34-36) menyatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara secara fundamental telah berhasil merangkum nilai-nilai pokok yang hidup di masyarakat dan mencerminkan kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Pancasila tentu saja memainkan peranan utama dalam proses pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, dalam arti ia menjadi pengikat atau pemersatu nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Namun pada kenyataannya, -sejak Indonesia merdeka-,  perbedaan nilai-nilai lebih muncul kepermukaan daripada nilai-nilai persatuan. Menurut Kantaprawira (1992:37-39) munculnya perbedaan nilai-nilai tersebut antara lain disebabkan oleh :
a. Konfigurasi subkultur di Indonesia yang masih beraneka ragam, dari segi bahasa, agama, suku dan budaya. Perbedaan tersebut menjadi cukup mencolok karena masyarakat kita lebih mengedepankan kadar perbedaan daripada nilai-nilai kesamaannya. Munculnya anggapan-anggapan negatif akibat mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kadar dari nilai-nilai pokok inilah yang kemudian memunculkan rasa saling curiga antara suku yang satu dengan yang lainnya. Masalah keanekaragaman subkultur tersebut diatasi melalui pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (charahcter building) melalui Asas tunggal Pancasila dan Wawasan Kebangsaan namun pada masa rezim Orde Baru upaya tersebut terkesan dipaksakan untuk menciptakan stabilitas keamanan nasional agar dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian. Sehingga tidak dibiarkan adanya perbedaan pendapat dan pemikiran terutama apabila pendapat dan pemikiran tersebut menentang kebijakan pemerintah. Kecurigaan juga ditujukan kepada penguasa. Penguasa seringkali melakukan upaya penyeragaman dan mematikan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan nasional dengan melakukan penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan desa, menghidupsuburkan kebudayaan-kebudayaan tertentu (yang didominasi elite), para kepala daerah yang didominasi oleh orang Jawa dan militer, yang pada akhirnya masyarakat suku setempat tidak memiliki pengaruh politik di wilayahnya sendiri. Masyarakat suku setempat tidak memiliki kesempatan untuk memelihara budaya mereka sendiri.
b.      Budaya politik Indonesia juga bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di pihak lain. Di satu sisi masyarakat Indonesia itu  enggan menyampaikan kritik dan masih ketinggalan dalam hal menggunakan hak dan berperan aktif dalam kehidupan politik. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial. Namun disisi lain kaum elit sangat mendominasi kehidupan politik hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, status sosial, kedudukan politik dan ideologi antara kaum elite dan masyarakat.
c.    Adanya Ikatan Primordial yang kuat dan berakar. Hal ini dapat ditunjukkan dari sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, puritanisme dan  non puritanisme. Salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat dimana usaha gerakan kaum elit dalam organisasi politik langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan pengrekrutan dukungan. Misalnya pada salah satu organisasi politik di Indonesia yang melakukan pendekatan kepada para ulama untuk memobilisasi dukungan suara dari para santri atau pendekatan kepada sesepuh masyarakat untuk memperoleh dukungan dari massanya. Primordialisme akan menguntungkan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya dan mengecewakan kelompok yang lain. Adanya persepsi  dan sikap-sikap yang didasarkan pada ikatan primordial ini akan menimbulkan kesenjangan dan merenggangkan rasa solidaritas sesama masyarakat, dan antara masyarakat dengan penguasa. Kenyataan ini akan menimbulkan kecurigaan bahkan rasa saling bermusuhan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
d.   Kecenderungan budaya politik yang masih mengukuhkan sikap paternalisme dan sifat patrimonial antara lain ditunjukkan oleh pemahaman bapakisme  atas sikap asal bapak senang. Untuk beberapa hal tertentu, sikap ini cukup menjaga keselarasan  masyarakat yang menyandarkan dirinya atau tunduk kepada proses output kebijakan penguasa. Sikap paternalisme dan patrimonial ini Budaya pada masyarakat kita  untuk memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin. Disamping itu pula, individu yang merasa dirinya mampu memimpin, percaya bahwa kepemimpinannya senantiasa tepat atau benar, sehingga lazimnya tidak mau dikritik. Kritik dianggap sebagai manifestasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap diri dan kebijaksanaannya. Anggapan negatif penguasa terhadap kritik  juga ditopang oleh tafsiran mengenai kekuasaan. Elite politik cenderung mengintepretasikan kekuasaan sebagai kebebasan untuk bertindak atau mempengaruhi orang lain, meskipun dengan cara paksaan. Dengan kekuasaan, seorang pemimpin merasa mempunyai kebebasan yang dapat dipergunakan sesuai dengan keinginannya. Dari sinilah lahir pembenaran-pembenaran terhadap tingkah laku elit dan massa. Sebagai penguasa, ia merasa memiliki kebebasan bertindak, dan sebagai masyarakat atau yang dikuasai harus menerima ketidakberdayaan yang lama-lama menjadikannya ‘bosan’ terhadap situasi tersebut  sehingga menciptakan apatisme  dalam masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat merasa sia-sia melontarkan kritik karena tidak akan mendapat perhatian dari pemimpin/penguasa, celakanya kritik tersebut dapat membawa resiko bagi dirinya sendiri.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, terutama setelah jatuhnya Orde Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi, pelaksanaan pembangunan ekonomi disisi lain telah menciptakan lingkungan baru dalam aspek kehidupan berpolitik di Indonesia. Lingkungan baru yang dimaksud adalah berupa situasi di mana sebagian besar masyarakat telah terpacu, dan meningkatkan  kesadaran politik masyarakat secara keseluruhan. Perkembangan ini kemudian akan mempengaruhi hubungan elite dengan massa, dan lambat laun menghapus meminimalisir primordialisme dan sifat patrimonial. Meskipun primordialisme tidak dapat sepenuhnya dihapuskan karena kenyataannya ada beberapa orang yang berupaya mempertahankan primordialisme tersebut.
            Sebenarnya masalah mengenai budaya politik Indonesia telah banyak dilakukan penelitian oleh para ilmuwan politik baik dari negara asing meupun dari sarjana Indonesia sendiri.  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, umumnya dikemukakan bahwa pola budaya politik Indonesia memiliki beberapa ciri uatama diantaranya adalah “kecenderungan hirarki yang tegas”, “patronase”, “patrimonialistik” dan “neo-patrimonialisme” (Afan Gaffar, 1999: 115).
            Pada sebagian besar masyarakat Indonesia khas masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat hirarkhi, stratifikasi sosial tidak berdasarkan simbol sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih kepada akses kekuasaan yaitu antara pemegang kuasa dengan rakyat terpisah secara tegas. Misalnya, di dalam masyarakat Jawa wujudnya istilah “ndoro” (majikan) dan “rakyat kebanyakan”, “wong gede” (orang atasan) dan “wong cilik” (orang bawahan). Pola pemisahan tersebut berimplikasi kepada tindakan pemerintah dalam kalangan masyarakat yang seringkali menonjolkan diri dengan imej diri “benevolent”. Contoh, pegawai pemerintah (orang atasan) melindungi, mendidik rakyat dengan menonjolkan diri sebagai kumpulan pemurah, baik hati, namun di balik citra kemurahan hati itu memiliki persepsi yang berbeda. Mereka menganggap dirinya amat baik dan mengetahui segala-galanya maka oleh itu sepatutnya rakyat patuh kepadanya. Sebaliknya rakyat (orang bawahan) adalah kumpulan yang tidak tahu apa-apa, oleh sebab itu itu harus memperoleh pendidikan melalui berbagai pelatihan.
            Bersamaan dengan pendapat itu, Selo Soemarjan menjelaskan:
“…memang masyarakat merasakan bahwa pola pemerintah terpusat di tangan seorang lebih serasi dengan susunan masyarakat Indonesia pada umumnya yang bersifat autokratik. Sejarah Indonesia banyak dipenuhi oleh raja, ratu, sultan dan penguasa-penguasa absolut lainnya, di mana masyarakat menganggapnya sebagai mediator/penghubung antara dunia kekuatan kosmologi yang menguasai kehidupan manusia dan masyarakat, sehingga mereka tidak melawan kekuatan kosmologi karena mendatangkan kutukan dan malapetaka kepada semua manusia tanpa terkecuali” (Herberth Feith & Lance Castles (ed), 1988: 113).
Keadaan yang diperihalkan ini menunjukkan bahwa dasar awam merupakan domain atau kuat kuasa dan kecakapan sekelompok kecil elit pada pemerintah pusat atau di ibukota provinsi. Dalam kalangan pemerintah yang membentuk agenda kebijakan publik dan mengubah, kemudian DPR atau DPRD mengesahkan. Sementara itu rakyat mengalami proses pemisahan dan tidak terlibat di dalam proses politik, mereka hanya terlibat pada tahap pelaksanaan kebijakan.
Ciri budaya politik lainnya yang terkenal di Indonesia adalah kecenderungan pembentukkan pola budaya politik patronase atau penaungan (patron-client) baik dalam kalangan pihak yang berkuasa maupun masyarakat biasa.
Menurut Karl D. Jackson, pola hubungan penaungan lebih bersifat hubungan pribadi sesama yaitu antara patron “penaung” dengan client “yang dinaungi” melakukan interaksi timbal balik. Istilah “bapakisme” seringkali digunakan untuk menggambarkan sistem hubungan sosial bangsa Indonesia yang cukup personal/pribadi tetapi kompleks. Bapak sebagai pemimpin (client) perlu memperhatikan keinginan material, spiritual, dan keinginan emosional anak buahnya, sementara anak buah memberikan sumbangan/hadiah, ikut serta dalam acara-acara keluarga, bergabung atau meninggalkan partai politik, dan dalam beberapa kasus berusaha mempertahankan kehidupan penaung (Karl D. Jackson, 1978: 35).
Afan Gaffar mengatakan bahwa di antara penaung dan yang dinaungi terdapat hubungan timbal balik dalam kedudukan yang tidak sejajar. Walaupun kedua-duanya saling memerlukan, kuasa penaung terjelma dalam sejumlah layanan yang dapat menyediakan untuk mereka, sebagai satu “hadiah”, sementara yang dianungi bernaung di bawah kuasa penanungannya, memperlihatkan kewujudannya, dan juga menyediakan hadiah-hadiah, dan hubungan itu senantiasa saling bergantungan (Afan Gaffar, 1999: 110).
Hubungan seperti ini terus berlaku selama pihak penaung dan yang dinaungi masih memiliki sumber daya, dan biasanya yang paling banyak memperolehi manfaat dalam hubungan timbal balik ini adalah penaung karena penaung lebih memiliki banyak sumber daya berbanding yang dinaungi.  Budaya ini terus berkembang, dan apabila terdapat orang ketiga yang bertindak sebagai “perantara” anatara penaung dengan yang dianungi, ia disebut sebagai “broker” atau orang tengah.
Politik penaungan (patronase) ini dapat diperlihatkan pada area sebelum reformasi. Budaya politik penaungan cenderung memperluas memperluas penaungannya dalam bidang kekuasaan dan masyarakat. Di dalam urusan kekuasaan, presiden berperan sebagai penaung sejumlah menteri dan menteri-menteri itu berperan sebagai orang tengah atas sejumlah menteri lainnya.  Seterusnya menteri-menteri ini pula menjadi orang tengah kepada direktorat jenderal, sekretaris jenderal, inspektorat jenderal dari tingkat kekuasaan paling tinggi kepada peringkat terendah. Sementara dalam urusan masyarakat, seseorang yang berkuasa dalam urusan pemerintahan berperan sebagai penaung bagi sejumlah pejabat di dalam lingkungannya. Daripada sejumlah pegawai tersebut pula berperanan sebagai perantara kepada para pengusaha yang mencari peluang untuk memperoleh proyek-proyek pemerintah.  Pengusaha itu kemudian, terutama pengusaha non pribumi membentuk diri sebagai pihak yang dianungi dan selalu memberi hadiah kepada pihak berkuasa yaitu pejabat pemerintah berbentuk uang atau kemudahan-kemudahan agar mereka memperoleh kemudahan dalam menjalankan usahanya antara lain memperoleh tender proyek dari pemerintah            .
Sementara dalam politik Indonesia juga terdapat kecenderungan muncul budaya politik neo-patrimonialistik, yaitu pada masa Orde Baru yang memiliki ciri yang bersifat modern dan rasional sedangkan di sisi lain masih memiliki sifat patrimonialistik. Misalnya, di dalam birokrasi hirarkhi kekuasaan tersusun secara rasional modern, walaupun jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi masih diisi oleh seorang yang memiliki hubungan kekeluargaan. Di samping itu banyak pula anggota tentara dan polisi yang memegang jabatan pemerintahan maupun politik seperti jabatan bupati/walikota atau gubernur. Dalam era reformasi, keadaan ini terus berlangsung meskipun tidak secara terbuka dan tidak semarak seperti di masa lalu, terutama bagi jabatan-jabatan kepala daerah (yang mana pada era reformasi, jabatan sebagai kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah/Pilkada). Pada masa era Soeharto berjaya, kepala daerah terjadi melalui proses penunjukkan oleh Presiden dibantu oleh Menteri Dalam Negeri, yang mana kepala daerah yang dipilih Presiden ini umumnya individu-individu yang mampu bekerjasama dalam menjaga kelangsungan kekuasaan pemerintah pusat.
Menurut Max Weber, negara “patrimonilistik” memiliki ciri-ciri: (1) yang berkuasa cenderung membagikan sumber kekuasaan yang dimiliki kepada teman/kroninya; (2) kebijakan seringkali bersifat khusus daripada bersifat mendunia; (3) peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu yang sekunder sifatnya berbanding dengan peraturan dan ketetapan ytang dibuat oleh seorang penguasa, (4) kuasa politik seringkali mencampuradukkan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi (Afan Gaffar, 1999: 114-115).
Sementara itu, Manuel Kaisepo menguraikan mengenai aspek-aspek penting model neo-patrimonialistik ialah: (1) kepemimpinan pribadi yang tidak terkontrol, keputusan penting dalam merumuskan kebijakan merupakan produk oligarki tentara-teknokrat daripada usaha seorang diktator tentara; (2) sehubungan dengan fungsi dan peranan politik administrator, pada pendapat Roth, kepemimpinan pribadi boleh berkembang melalui alat-alat birokrasi atau dengan akata lain, patrimonialisme boleh berjalan melalui kekuasaan birokrasi. (3) masalah keabsahan rejim dan ketaatan atau kepatuhan rakyat kepada kepemimpinan.  Jika model politik-birokratik menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan yang merujuk kepada sikap konvensional tradisional dan terbelakang, maka model patrimonialisme pula menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan lapisan bawah rakyat biasa, terutama yang melibatkan ganjaran kebendaan (Jurnal Ilmu Politik, No. 2, 1997: 28).
Menurut King, rejim neo-patrimonial, kebiasaan kekuasaan lebih berdasarkan pada rasional “substantif” berbanding dengan “rasional perundangan” seperti ciri birokrasi di negara-negara industri Barat. Merujuk kepada proses reformasi dan rasionalisasi administrasi serta pelaksanaan kebijakan ekonomi pemerintah orde baru. King masih berpendapat bahwa masih terdapat banyak faktor yang tidak mudah untuk disesuaikan dengan model birokrasi neo-patrimonial terutama yang bekerja atas dasar rasional substantif (Jurnal Ilmu Politik, No.2, 1997: 28).

Miriam Boediardjo, negara-negara Barat terutama Belanda yang menjajah dan menekan bangsa Indonesia dengan cara politik memecah belah (“Devide et impera”) dan sengaja mewujudkan pula kelas-kelas dalam masyarakat sehingga memunculkan budaya peserta (“kawula”) yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Keadaan itu mendorong bangsa Indonesia bangkit menentang penjajah untuk merebut kemerdekaan dengan melakukan penentangan secara kekerasan fisikal maupun non fisikal. Elit politik (para penyelenggara negara) bertekad menyelenggarakan kerajaan secara demokratik dan memperoleh sokongan luas daripada rakyat Indonesia (Miriam Boediardjo, 1980: 69-76, Afan Gaffar, 1999: 10). 
ANALISA INPUT-OUTPUT SISTEM POLITIK

            Kita memandang sistem politik sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bertalian  dengan pembuatan keputusan yang autoritatif. Input sebagai masukan bagi sistem untuk menghasilkan output dalam bentuk kebijakan. Kebijakan (sebagai output dari sistem) menunjukkan hasil kerja sistem politik dalam kegiatannya menyesuaikan diri dan mempengaruhi lingkungan. Hasil keluaran (output) dari sistem politik ini kemudian   akan menentukan  ataupun mempengaruhi tuntutan-tuntutan masyarakat berikutnya. Dari kebijakan-kebijakan ini pula bisa meningkatkan  maupun menurunkan tingkat kesetiaan  masyarakat terhadap sistem politik. Karena itu pada bab berikut ini akan dibahas mekanisme kerja sistem politik yang  menjelaskan cara kerja sistem politik, input dan output sistem politik, wilayah dukungan sistem politik dan cara-cara sistem politik memelihara dukungan.
A.     Cara Kerja Sistem Politik
Sistem politik mulai bekerja ketika ia memperoleh masukan (inputs) yang datang baik dari lingkungan masyarakat dalam maupun masyarakat luar. Input yang masuk kepada sistem dapat berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan  adalah pelbagai kepentingan/kebutuhan masyarakat antara lain kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, kebebasan, keagamaan dan sebagainya. Sementara dukungan  (support) adalah energi  bagi sistem politik berupa tindakan maupun pandangan-pandangan yang memajukan sistem politik. Input-input yang masuk kemudian di konversi oleh sistem politik menjadi suatu keluaran (outputs). Output sistem yaitu keputusan atau kebijakan yang mengikat masyarakat sebagai jawaban sistem politik terhadap lingkungan. Output dibagi kepada dua yaitu penghargaan (rewards) dan penafikan (deprivations). Apabila masyarakat menganggap bahwa tuntutan mereka terpenuhi, berarti output itu adalah penghargaan, sebaliknya jika keluaran itu penafikan, berarti rakyat tidak menerima atau merasa tidak puas terhadap output atau kebijakan tadi. Seterusnya, output kemudian akan kembali menjadi masukan kepada sistem melalui proses umpan balik (feed back). Artinya disini, rangkaian kerja sistem politik diawali oleh input yang masuk kepada sistem, yang akan menghasilkan output (kebijakan) sebagai hasil kerja sistem, kemudian melalui saluran feedback, output tersebut kemungkinan akan melahirkan input-input yang baru. 
Inputs dan Outputs Sistem Politik
Input-Tuntutan
Input politik dapat dibedakan antara input-tuntutan dan input-dukungan. Input-tuntutan memerlukan perhatian khusus sebagai jenis input utama bagi suatu sistem politik. Tuntutan dapat mempengaruhi perilaku suatu sistem dengan berbagai macam cara. Tuntutan juga merupakan salah satu sumber timbulnya perubahan dalam sistem  politik. Input-tuntutan yang lahir dari masyarakat dan lingkungan berangkat dari asumsi bahwa masyarakat menghadapi kelangkaan dan keterbatasan sumber-sumber yang seringkali tidak dapat memenuhi dan memuaskan semua pihak. Tuntutan-tuntutan tersebut sebagai masukan bagi pemerintah untuk melakukan proses pendistribusian sumber-sumber tersebut (ekonomi, politik, nilai-nilai, kebebasan individu) atau mengalokasikan sumber-sumber yang langka tersebut melalui keputusan politik (Ramlan Surbakti, 1992: 9).
Tuntutan-tuntutan ini bergantung pula dengan  budaya politik suatu masyarakat yang hidup dalam sistem tersebut. Setiap kebudayaan mempunyai sifat uniknya. Beberapa kebudayaan sangat menekankan keberhasilan ekonomi, kebebasan individu, dan efisisensi rasional.  Beberapa kebudayaan lain menekankan pemeliharaan harmoni, walaupun proses pencapaian tujuan itu berarti mengorbankan tujuan efisiensi dan rasionalitas. Beberapa yang lain lagi menekankan tujuan mencari kekuasaan dan prestise.  Kebudayaan itu mengandung patokan-patokan  nilai dalam suatu masyarakat dan karena itu menandai batas-batas wilayah konflik potensial, bila hal yang bernilai itu tersedia dalam jumlah lebih sedikit dibanding tuntutan yang ada. Karenanya kita tidak dapat berharap bisa memahami sifat tuntutan-tuntutan yang memerlukan penyelesaian konflik apabila kita tidak siap untuk menjelajahi secara sistematik dan intensif hubungan tuntutan-tuntutan itu dengan kebudayaan yang ada.
Mengenai tuntutan-tuntutan ini sangat penting juga apabila kita membedakan antara tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Tuntutan internal, bukanlah input yang dimasukan ke dalam  sistem  melainkan sesuatu yang timbul  di dalam sistem itu sendiri atau disebut  juga dengan withinputs. Sedangkan tuntutan eksternal merupakan tuntutan yang muncul dari luar sistem dan lingkungannya.
Timbulnya tuntutan baik internal maupun eksternal tidak begitu saja  menjadi suatu isu politik. Banyak tuntutan mati antara lain disebabkan dukungan yang rendah dari sebgaian masyarakat, atau tuntutan tersebut didukung oleh golongan masyarakat yang kurang berpengaruh  dan tidak pernah bisa masuk ke dalam tingkat pembuatan keputusan.  Karena itu isu politik adalah suatu tuntutan yang oleh anggota-anggota  masyarakat ditanggapi dan dianggap sebagai hal yang penting untuk dibahas melalui saluran-saluran yang efektif dan diakui dalam sistem tersebut.

Input-Dukungan
Input-input yang berupa tuntutan saja tidaklah memadai bagi keberlangsungan kerja suatu sistem politik.  Untuk tetap menjaga keberlangsungan fungsinya, sistem politik juga membutuhkan enerji dalam bentuk tindakan-tindakan atau pandangan-pandangan yang memajukan suatu sistem politik. Input inilah yang disebut dengan dukungan. Tanpa dukungan, tuntutan tidak akan bisa dipenuhi atau konflik mengenai tujuan tidak akan terselesaikan. Bentuk-bentuk dukungan bisa berujud dengan memberikan suara yang mendukung pencalonan seorang pemimpin atau membela  dan mempertahankan suatu keputusan otoritatif. Dukungan juga bisa jadi tidak berujud tindakan yang nampak nyata dari luar, tetapi merupakan bentuk tingkah laku “batiniah” yang disebut dengan pandangan atau suasana pikiran. Karena itu menurut pandangan Easton, dukungan  (support) merupakan suatu kumpulan sikap-sikap atau kecenderungan –kecenderungan  yang kuat, atau suatu kesediaan untuk bertindak demi orang lain.   Hal ini terkesan apabila seeseorang tampak setia pada suatu partai, masyarakat yang terikat pada demokrasi, atau bersemangat patriotis dan nasionalis.
Karena itu suasana pemikiran yang bersifat mendukung merupakan input vital bagi keberlangsungan sistem politik. Misalnya, sering dikatakan bahwa perjuangan dalam lingkungan politik internasional melibatkan juga usaha menguasai atau mempengaruhi pemikiran orang-orang yang menjadi sasarannya. Bila anggota-anggota suatu sistem politik mengikatkan diri secara erat pada sistemnya atau tujuan-tujuan sistemnya itu, kemungkinan bahwa mereka akan berpartisipasi dalam kegiatan politik domestik maupun internasional yang bisa merusak sistemnya sendiri dapat dicegah seminimal mungkin, oleh suatu faktor yang kuat berupa suasana pemikiran yang mendukung itu. Bahkan dalam menghadapi provokasi besar-besaran dan gencar, suasana pemikiran yang menekankan kesetiaan pada sistem itu dapat diharapkan menjadi benteng yang tangguh.
Input-dukungan dapat diidentifikasi melalui :
(1)   Wilayah Dukungan
Dukungan dimasukkan ke dalam sistem politik dan mengarah pada tiga sasaran: komunitas, rejim, dan pemerintah. Diantara ketiganya ini harus terdapat konvergensi atau kesatuan sikap, pendapat maupun kehendak.
(a)     Komunitas Politik. Tidak satu pun sistem politik yang dapat terus melangsungkan kerjanya kalau anggota-anggotanya tidak bersedia mendukung eksistensi suatu kelompok yang berusaha menyelesaikan perbedaan-perbedaan atau mendorong pembuatan keputusan-keputusan melalui tindakan-tindakan bersama secara damai.
(b)     Rejim.  Rejim terdiri dari semua pengaturan yang mengatur cara menangani tuntutan yang dimasukkan ke dalam sistem tersebut dan cara melaksanakan keputusan. Ini semua adalah yang biasa disebut dengan “aturan main” , dan yang dipakai oleh sebagian besar anggota sistem tersebut sebagai ukuran untuk menilai sah-tidaknya tindakan anggota sistem.  Dukungan terhadap aturan main ini dalam istilah barat disebut dengan azas-azas konstitusional. Keselarasan tindakan-tindakan anggota-anggota suatu sistem untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat dukungan mereka terhadap suatu komunitas politik melalui azas-azas (konstitusional) yang mengatur bagaimana dan dimana penyelesaian tuntutan-tuntutan yang berbeda harus dilakukan.
(c)      Pemerintah.  Bila suatu sistem politik ingin memiliki kemampuan untuk menangani tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan yang dimasukkan kedalamnya, bukan hanya anggota-anggotanya harus bersedia mendukung penyelesaian konflik-konflik ini secara bersama-sama dan harus memiliki konsensus tentang aturan main dalam penyelesaian konflik-konflik, tetapi anggota-anggota sistem itu juga harus mendukung suatu pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas konkrit menyelesaikan konflik-konflik itu.  Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendapatkan dukungan yakni melalui bujukan, persetujuan, manipulasi bahkan paksaan.  Paksaan dilakukan pemerintah untuk meraih dukungan masyarakat  yaitu dengan menggunakan ancaman kekuataan kekerasan. Namun sudah menjadi suatu aksioma  ilmu politik bahwa suatu pemerintahan  yang didasarkan atas penggunaan kekerasan semata-mata (seperti halnya pada paradigma pemerintahan police state) tidak akan dapat bertahan lama, karena itu suatu pemerintahan harus menciptakan suatu suasana pemikiran yang mendukung di kalangan warga negaranya.
(2)   Kuantitas dan Ruang Lingkup Dukungan
Berapa banyak dukungan yang diperlukan oleh suatu sistem dan berapa banyak anggota sistem yang dibutuhkan untuk memberikan dukungan  bila suatu sistem ingin memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan merubah tuntutan-tuntutan menjadi keputusan-keputusan? Tidak ada jawaban sederhana  yang dapat diberikan. Situasi aktual dalam setiap kasus akan menentukan jumlah dan ruang lingkup yang dibutuhkan itu.
B.      CARA SISTEM POLITIK MEMELIHARA DUKUNGAN
Tidak ada satu pun sistem politik dapat menghasilkan output yang berupa keputusan-keputusan otoritatif, jika dukungan disamping tuntutan tidak memperoleh jalan untuk masuk ke dalam sistem. Pada bab sebelumnya sudah dibahas oleh Easton mengenai sasaran-sasaran dukungan bisa diarahkan, kuantitas dan ruang lingkupnya. Permasalahan lebih lanjut adalah bagaimana suatu sistem dapat mengelola untuk memelihara agar arus dukungan yang tetap? Tanpa arus dukungan yang tetap dan ajeg , suatu sistem tidak dapat menyerap energi yang cukup memadai dari anggota-anggotanya untuk mengubah suatu tuntutan menjadi keputusan. Easton mengemukakan bagaimana sistem dapat mempertahankan dukungan dengan memanfaatkan mekanisme-mekanisme berikut:

(1)   Output-output sebagai mekanisme dukungan
Output dari suatu sistem politik berujud suatu keputusan atau kebijaksanaan politik. Salah satu cara untuk memperkuat ikatan antara anggota-anggota dengan sistem adalah dengan menciptakan atau memberikan keputusan-keputusan yang bisa memenuhi tuntutan-tuntutan sehari anggotanya. Tanpa pemenuhan sedikitpun  terhadap tuntutan-tuntutan yang ada jelas akan mengendurkan kegiatan  dari semua anggota sistem kecuali mungkin yang memiliki semangat patriotik atau fanatis.
Output-output  yang berujud keputusan-keputusan politik merupakan pendorong khas bagi anggota-anggota suatu sistem untuk mendukung sistem tersebut. Dalam setiap sistem, dukungan yang diberikan anggotanya sebagian akibat ketakutan akan sanksi atau keterpaksaan; dalam sistem-sistem otokratik proporsi dukungan-terpaksa itu mencapai titik maksimum, namun semakin demokratis suatu sistem, proporsi itu menurun.
Karena  output-output yang khas dari suatu sistem adalah keputusan-keputusan mengenai kebijaksanaan, maka pada pemerintahan terletak tanggung jawab tertinggi untuk menyesuaikan atau menyeimbangkan output  berupa keputusan dengan input yang berupa tuntutan. Tetapi untuk memperoleh dukungan, tentu saja pemerintah tidak perlu memenuhi semua tuntutan yang ada walaupun tuntutan tersebut diajukan oleh kelompok yang paling berpengaruh dan gigih. Karena pemerintah akan tetap mendapat dukungan dari para anggotanya sepanjang keputusan-keputusan politik yang dibuatnya  secara umum dapat memenuhi kepentingan mereka.
Selain itu pemerintah juga perlu menyiapkan dukungan cadangan yang berujud pada kesetiaan partai yang mendukung pemerintah tersebut. Karena partai merupakan sarana khusus  dalam masyarakat untuk mengerahkan dan memelihara dukungan bagi suatu pemerintahan.  Tetapi tetap saja, keputusan-keputusan politik yang kurang memberikan keuntungan atau ganjaran (rewards) kepada anggota-anggota sistem, akhirnya dapat membahayakan kelangsungan sistem bahkan kesetiaan kepada partai yang tangguh sekalipun. Ketidakmampuan pemerintah untuk menghasilkan output-output yang memuaskan  bagi anggota-anggota suatu sistem akan merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan baru untuk merubah rejim yang berlaku atau menghancurkan komunitas politik itu. 
(2)   Politisasi sebagai mekanisme dukungan
Ada beberapa kasus, dimana suatu sistem tetap bertahan  dan berfungsi  meskipun tingkat pemenuhan tuntutan-tuntutan anggotanya sangat rendah dan juga paksaan terhadap masyarakat terbatas. Dan beberapa sistem politik juga mampu bertahan meskipun input-dukungan tidak memadai. Hal ini disebabkan karena cadangan dukungan yang telah diakumulasikan sebagai akibat dari keputusan-keputusan yang lalu bisa ditingkatkan dan diperkuat dengan cara politisasi. Mekanisme yang digunakan adalah dengan melakukan sosialisasi politik bagi seorang individu sejak masa kanak-kanak dalam usaha memahami  bagaimana suatu sistem politik menciptakan dan mengakumulasikan sumber atau cadangan dukungan yang besar.  Kedua, sosialisasi politik yang dialami individu akan membuatnya menganut nilai-nilai dan sikap-sikap politik dan menjalankan tindakan politik yang dianggap benar dan diterima secara umum, nilai-nilai politik yang begitu melembaga kemudian akan menentukan kewajiban-kewajiban yang dijalankan individu   sehingga tercipta suatu keselarasan dalam tindakan-tindakan individu dengan penafsiran dan pencapaian tujuan bersama.
Politisasi juga melibatkan ganjaran, hukuman, keuntungan maupun kerugian. Siapapun  yang mengikuti (suka atau tidak) akan mendapat ganjaran  misalnya dihormati, dibutuhkan, keuntungan material (kekayaan), pengaruh dan kesempatan-kesempatan.  Tetapi yang mengingkari nilai-nilai masyarakat/sistem di luar batas, konsekuensinya kita akan ditolak, diasingkan, tidak dihargai bahkan menderita kerugian material.
Ketiga, penanaman nilai-nilai politik cenderung berulang-ulang. Berbagai mitos, doktrin dan filsafat politik ditanamkan suatu penafsiran tertentu  mengenai tujuan-tujuan dan norma-norma  kepada setiap generasi. Unsur-unsur yang menentukan dalam proses penanaman atau pewarisan nilai-nilai itu adalah orang tua, saudara, teman sepergaulan, guru, organisasi, dan pemimpin masyarakat, disamping juga lambang-lambang fisik seperti bendera dan upacara yang dipenuhi dengan makna politik.
Proses penanaman nilai-nilai politik dan rasa keterikatan pada sistem politik ke dalam  diri anggota masyarakat inilah yang disebut dengan politisasi. Bila keterikatan itu menjadi berakar sangat kuat  atau terlembaga, atau sistem politiknya memiliki legitimasi yang tinggi, politisasi berjalan efektif yang dapat membuktikan pada sistem politik tersebut dapat bertahan lama dan memperoleh legitimasi yang dapat dialihkan (diwariskan) kepada generasi berikutnya. Dengan kata lain, Easton menegaskan bahwa bila suatu sistem politik ingin dapat bertahan lama dalam  menghadapi gelombang dan goncangan, maka sistem itu harus menciptakan dukungan  yang didasarkan pada pengakuan akan legitimasi pemerintah dan rejimnya, karena dukungan semacam inilah yang mampu menciptakan cadangan-cadangan dukungan yang memadai. 

ANALISA INPUT-OUTPUT MITCHELL

            Contoh lain daripada analisis input dan output adalah sebagaimana dikemukakan oleh Mitchell. Mitchell membagi ‘inputs and outputs’ dengan satu cara yang sedikit atau agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh David Easton. Menurut Mitchell semua input sistem politik tidak hanya berupa demands dan supports saja melainkan juga perlu memperhitungkan semua input-input sistem termasuk harapan dan sumber-sumber yang ada dimana sistem itu beroperasi.
Mitchell mendefinisikan ‘outputs’ sistem dalam tiga kategori-tujuan yaitu nilai, ongkos/biaya dan pengawasan. Nilai merupakan pengertian ‘outputs’ positif sedangkan biaya adalah negatif. Satu nilai untuk seorang pribadi biasanya meliputi biaya untuk dirinya sendiri atau orang lain. Sedangkan kontrol adalah cara-cara di mana tujuan,  nilai dan biaya diimplementasikan.
            Dilihat dari analisa inputs-outputs Easton dan Mitchell, dapat dikatakan bahwa David Easton berbicara dalam istilah sosiologi politik sedangkan Mitchell mengemukakan sistem politik dalam interpretasi ekonomi. Walaupun model polity/pemerintahan Mitchell memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara tuntutan, harapan, sumber,-sumber dan dukungan di satu sisi dan tujuan sistem, nilai-nilai dan biaya-biaya serta pengawasan di sisi lain, model perubahan pemerintahan nyata/manifest berdasarkan model analisa input-output Mitchel menggambarkan  terjadinya hubungan timbal balik antara sumber, tuntutan dan dukungan, manfaat publik  dan  jasa satu sama lainnya.
            Model yang digambarkan Mitchel mengenai sistem politik, seperti dalam salah satu tulisannya, Mitchel menjelaskan bahwa tujuannya adalah mendiskusikan tentang ‘bentuk teori politik yang akan datang’ yang meramalkan bahwa teori politik baru di bawah pengaruh ekonomi akan menambah kesenjangan jika kita tidak berbuat sesuatu. Mitchel siap membuat awal yang sangat kuat dalam kesejahteraan ekonomi dan dalam perkembangan cara-cara seperti ‘analisis biaya keuntungan’, teori sistem, ‘program penganggaran’ dan teori ekonomi lebih umumnya”.
            




PROSES PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK SCL

             Belajar bukan sekedar mendapat pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan pengetahuan tersebut pada analisis yang kritis, krea...