Sunday, April 24, 2016

KECENDERUNGAN BUDAYA POLITIK INDONESIA

Negara Indonesia adalah suatu negara yang bersifat pluralis (majemuk) dilihat dari aneka ragam suku bangsa, kebudayaan dan agama. Namun pluralitas yang dimiliki oleh bangsa kita tidak begitu menjadi persoalan  besar apabila keanekaragaman tersebut  tidak mewarnai orientasi politik masyarakat. Kenyataannya terdapat  perkaitan antara orientasi politik dengan nilai-nilai budaya yang bersumber pada pluralitas masyarakat. Menurut Syamsuddin (1995: 8), orientasi politik tidak saja didorong oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tetapi bisa saja merupakan masukan dari luar. Namun tanggapan anggota masyarakat  terhadap orientasi itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki.  Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi, dan kadang “membentuk” keseluruhan sikap masyarakat kemudian terpolakan menjadi orientasi politik masyarakat. Pada suatu negara yg masyarakatnya sangat pluralis seperti Indonesia dibutuhkan suatu upaya penyatuan nilai-nilai secara nasional dengan cara melakukan perubahan orientasi politik masyarakat.
Perubahan itu dapat dilakukan dengan cara paksa (indoktrinasi) maupun cara persuasif (sosialisasi politik). Yang menjadi masalahnya adalah sejauh mana masyarakat dapat menerima upaya pemerintah untuk menyatukan nilai-nilai tersebut dan memiliki kebanggaan sebagai anggota masyarakat dari suatu negara.
Untuk mengintegrasikan masyarakat yang memiliki orientasi-orientasi politik yang berbeda satu sama lain, the founding fathers  kita berusaha menyatukan nilai-nilai dan budaya-budaya lokal di Indonesia ke dalam satu motto nasional yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya persatuan dalam keanekaragaman.
Di awal kemerdekaan, proses persatuan dan kesatuan bangsa  sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan nasional. Pemerintah melancarkan strategi nasional  untuk menyatukan keanekaragaman nilai dan budaya di bawah payung asas tunggal Pancasila.
Nazaruddin Syamsudin (1995: 34-36) menyatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara secara fundamental telah berhasil merangkum nilai-nilai pokok yang hidup di masyarakat dan mencerminkan kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Pancasila tentu saja memainkan peranan utama dalam proses pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, dalam arti ia menjadi pengikat atau pemersatu nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Namun pada kenyataannya, -sejak Indonesia merdeka-,  perbedaan nilai-nilai lebih muncul kepermukaan daripada nilai-nilai persatuan. Menurut Kantaprawira (1992:37-39) munculnya perbedaan nilai-nilai tersebut antara lain disebabkan oleh :
a. Konfigurasi subkultur di Indonesia yang masih beraneka ragam, dari segi bahasa, agama, suku dan budaya. Perbedaan tersebut menjadi cukup mencolok karena masyarakat kita lebih mengedepankan kadar perbedaan daripada nilai-nilai kesamaannya. Munculnya anggapan-anggapan negatif akibat mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kadar dari nilai-nilai pokok inilah yang kemudian memunculkan rasa saling curiga antara suku yang satu dengan yang lainnya. Masalah keanekaragaman subkultur tersebut diatasi melalui pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter (charahcter building) melalui Asas tunggal Pancasila dan Wawasan Kebangsaan namun pada masa rezim Orde Baru upaya tersebut terkesan dipaksakan untuk menciptakan stabilitas keamanan nasional agar dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian. Sehingga tidak dibiarkan adanya perbedaan pendapat dan pemikiran terutama apabila pendapat dan pemikiran tersebut menentang kebijakan pemerintah. Kecurigaan juga ditujukan kepada penguasa. Penguasa seringkali melakukan upaya penyeragaman dan mematikan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan nasional dengan melakukan penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan desa, menghidupsuburkan kebudayaan-kebudayaan tertentu (yang didominasi elite), para kepala daerah yang didominasi oleh orang Jawa dan militer, yang pada akhirnya masyarakat suku setempat tidak memiliki pengaruh politik di wilayahnya sendiri. Masyarakat suku setempat tidak memiliki kesempatan untuk memelihara budaya mereka sendiri.
b.      Budaya politik Indonesia juga bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di pihak lain. Di satu sisi masyarakat Indonesia itu  enggan menyampaikan kritik dan masih ketinggalan dalam hal menggunakan hak dan berperan aktif dalam kehidupan politik. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial. Namun disisi lain kaum elit sangat mendominasi kehidupan politik hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, status sosial, kedudukan politik dan ideologi antara kaum elite dan masyarakat.
c.    Adanya Ikatan Primordial yang kuat dan berakar. Hal ini dapat ditunjukkan dari sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, puritanisme dan  non puritanisme. Salah satu petunjuk masih kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat dimana usaha gerakan kaum elit dalam organisasi politik langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan pengrekrutan dukungan. Misalnya pada salah satu organisasi politik di Indonesia yang melakukan pendekatan kepada para ulama untuk memobilisasi dukungan suara dari para santri atau pendekatan kepada sesepuh masyarakat untuk memperoleh dukungan dari massanya. Primordialisme akan menguntungkan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya dan mengecewakan kelompok yang lain. Adanya persepsi  dan sikap-sikap yang didasarkan pada ikatan primordial ini akan menimbulkan kesenjangan dan merenggangkan rasa solidaritas sesama masyarakat, dan antara masyarakat dengan penguasa. Kenyataan ini akan menimbulkan kecurigaan bahkan rasa saling bermusuhan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
d.   Kecenderungan budaya politik yang masih mengukuhkan sikap paternalisme dan sifat patrimonial antara lain ditunjukkan oleh pemahaman bapakisme  atas sikap asal bapak senang. Untuk beberapa hal tertentu, sikap ini cukup menjaga keselarasan  masyarakat yang menyandarkan dirinya atau tunduk kepada proses output kebijakan penguasa. Sikap paternalisme dan patrimonial ini Budaya pada masyarakat kita  untuk memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin. Disamping itu pula, individu yang merasa dirinya mampu memimpin, percaya bahwa kepemimpinannya senantiasa tepat atau benar, sehingga lazimnya tidak mau dikritik. Kritik dianggap sebagai manifestasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap diri dan kebijaksanaannya. Anggapan negatif penguasa terhadap kritik  juga ditopang oleh tafsiran mengenai kekuasaan. Elite politik cenderung mengintepretasikan kekuasaan sebagai kebebasan untuk bertindak atau mempengaruhi orang lain, meskipun dengan cara paksaan. Dengan kekuasaan, seorang pemimpin merasa mempunyai kebebasan yang dapat dipergunakan sesuai dengan keinginannya. Dari sinilah lahir pembenaran-pembenaran terhadap tingkah laku elit dan massa. Sebagai penguasa, ia merasa memiliki kebebasan bertindak, dan sebagai masyarakat atau yang dikuasai harus menerima ketidakberdayaan yang lama-lama menjadikannya ‘bosan’ terhadap situasi tersebut  sehingga menciptakan apatisme  dalam masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat merasa sia-sia melontarkan kritik karena tidak akan mendapat perhatian dari pemimpin/penguasa, celakanya kritik tersebut dapat membawa resiko bagi dirinya sendiri.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, terutama setelah jatuhnya Orde Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi, pelaksanaan pembangunan ekonomi disisi lain telah menciptakan lingkungan baru dalam aspek kehidupan berpolitik di Indonesia. Lingkungan baru yang dimaksud adalah berupa situasi di mana sebagian besar masyarakat telah terpacu, dan meningkatkan  kesadaran politik masyarakat secara keseluruhan. Perkembangan ini kemudian akan mempengaruhi hubungan elite dengan massa, dan lambat laun menghapus meminimalisir primordialisme dan sifat patrimonial. Meskipun primordialisme tidak dapat sepenuhnya dihapuskan karena kenyataannya ada beberapa orang yang berupaya mempertahankan primordialisme tersebut.
            Sebenarnya masalah mengenai budaya politik Indonesia telah banyak dilakukan penelitian oleh para ilmuwan politik baik dari negara asing meupun dari sarjana Indonesia sendiri.  Berdasarkan hasil penelitian tersebut, umumnya dikemukakan bahwa pola budaya politik Indonesia memiliki beberapa ciri uatama diantaranya adalah “kecenderungan hirarki yang tegas”, “patronase”, “patrimonialistik” dan “neo-patrimonialisme” (Afan Gaffar, 1999: 115).
            Pada sebagian besar masyarakat Indonesia khas masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat hirarkhi, stratifikasi sosial tidak berdasarkan simbol sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih kepada akses kekuasaan yaitu antara pemegang kuasa dengan rakyat terpisah secara tegas. Misalnya, di dalam masyarakat Jawa wujudnya istilah “ndoro” (majikan) dan “rakyat kebanyakan”, “wong gede” (orang atasan) dan “wong cilik” (orang bawahan). Pola pemisahan tersebut berimplikasi kepada tindakan pemerintah dalam kalangan masyarakat yang seringkali menonjolkan diri dengan imej diri “benevolent”. Contoh, pegawai pemerintah (orang atasan) melindungi, mendidik rakyat dengan menonjolkan diri sebagai kumpulan pemurah, baik hati, namun di balik citra kemurahan hati itu memiliki persepsi yang berbeda. Mereka menganggap dirinya amat baik dan mengetahui segala-galanya maka oleh itu sepatutnya rakyat patuh kepadanya. Sebaliknya rakyat (orang bawahan) adalah kumpulan yang tidak tahu apa-apa, oleh sebab itu itu harus memperoleh pendidikan melalui berbagai pelatihan.
            Bersamaan dengan pendapat itu, Selo Soemarjan menjelaskan:
“…memang masyarakat merasakan bahwa pola pemerintah terpusat di tangan seorang lebih serasi dengan susunan masyarakat Indonesia pada umumnya yang bersifat autokratik. Sejarah Indonesia banyak dipenuhi oleh raja, ratu, sultan dan penguasa-penguasa absolut lainnya, di mana masyarakat menganggapnya sebagai mediator/penghubung antara dunia kekuatan kosmologi yang menguasai kehidupan manusia dan masyarakat, sehingga mereka tidak melawan kekuatan kosmologi karena mendatangkan kutukan dan malapetaka kepada semua manusia tanpa terkecuali” (Herberth Feith & Lance Castles (ed), 1988: 113).
Keadaan yang diperihalkan ini menunjukkan bahwa dasar awam merupakan domain atau kuat kuasa dan kecakapan sekelompok kecil elit pada pemerintah pusat atau di ibukota provinsi. Dalam kalangan pemerintah yang membentuk agenda kebijakan publik dan mengubah, kemudian DPR atau DPRD mengesahkan. Sementara itu rakyat mengalami proses pemisahan dan tidak terlibat di dalam proses politik, mereka hanya terlibat pada tahap pelaksanaan kebijakan.
Ciri budaya politik lainnya yang terkenal di Indonesia adalah kecenderungan pembentukkan pola budaya politik patronase atau penaungan (patron-client) baik dalam kalangan pihak yang berkuasa maupun masyarakat biasa.
Menurut Karl D. Jackson, pola hubungan penaungan lebih bersifat hubungan pribadi sesama yaitu antara patron “penaung” dengan client “yang dinaungi” melakukan interaksi timbal balik. Istilah “bapakisme” seringkali digunakan untuk menggambarkan sistem hubungan sosial bangsa Indonesia yang cukup personal/pribadi tetapi kompleks. Bapak sebagai pemimpin (client) perlu memperhatikan keinginan material, spiritual, dan keinginan emosional anak buahnya, sementara anak buah memberikan sumbangan/hadiah, ikut serta dalam acara-acara keluarga, bergabung atau meninggalkan partai politik, dan dalam beberapa kasus berusaha mempertahankan kehidupan penaung (Karl D. Jackson, 1978: 35).
Afan Gaffar mengatakan bahwa di antara penaung dan yang dinaungi terdapat hubungan timbal balik dalam kedudukan yang tidak sejajar. Walaupun kedua-duanya saling memerlukan, kuasa penaung terjelma dalam sejumlah layanan yang dapat menyediakan untuk mereka, sebagai satu “hadiah”, sementara yang dianungi bernaung di bawah kuasa penanungannya, memperlihatkan kewujudannya, dan juga menyediakan hadiah-hadiah, dan hubungan itu senantiasa saling bergantungan (Afan Gaffar, 1999: 110).
Hubungan seperti ini terus berlaku selama pihak penaung dan yang dinaungi masih memiliki sumber daya, dan biasanya yang paling banyak memperolehi manfaat dalam hubungan timbal balik ini adalah penaung karena penaung lebih memiliki banyak sumber daya berbanding yang dinaungi.  Budaya ini terus berkembang, dan apabila terdapat orang ketiga yang bertindak sebagai “perantara” anatara penaung dengan yang dianungi, ia disebut sebagai “broker” atau orang tengah.
Politik penaungan (patronase) ini dapat diperlihatkan pada area sebelum reformasi. Budaya politik penaungan cenderung memperluas memperluas penaungannya dalam bidang kekuasaan dan masyarakat. Di dalam urusan kekuasaan, presiden berperan sebagai penaung sejumlah menteri dan menteri-menteri itu berperan sebagai orang tengah atas sejumlah menteri lainnya.  Seterusnya menteri-menteri ini pula menjadi orang tengah kepada direktorat jenderal, sekretaris jenderal, inspektorat jenderal dari tingkat kekuasaan paling tinggi kepada peringkat terendah. Sementara dalam urusan masyarakat, seseorang yang berkuasa dalam urusan pemerintahan berperan sebagai penaung bagi sejumlah pejabat di dalam lingkungannya. Daripada sejumlah pegawai tersebut pula berperanan sebagai perantara kepada para pengusaha yang mencari peluang untuk memperoleh proyek-proyek pemerintah.  Pengusaha itu kemudian, terutama pengusaha non pribumi membentuk diri sebagai pihak yang dianungi dan selalu memberi hadiah kepada pihak berkuasa yaitu pejabat pemerintah berbentuk uang atau kemudahan-kemudahan agar mereka memperoleh kemudahan dalam menjalankan usahanya antara lain memperoleh tender proyek dari pemerintah            .
Sementara dalam politik Indonesia juga terdapat kecenderungan muncul budaya politik neo-patrimonialistik, yaitu pada masa Orde Baru yang memiliki ciri yang bersifat modern dan rasional sedangkan di sisi lain masih memiliki sifat patrimonialistik. Misalnya, di dalam birokrasi hirarkhi kekuasaan tersusun secara rasional modern, walaupun jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi masih diisi oleh seorang yang memiliki hubungan kekeluargaan. Di samping itu banyak pula anggota tentara dan polisi yang memegang jabatan pemerintahan maupun politik seperti jabatan bupati/walikota atau gubernur. Dalam era reformasi, keadaan ini terus berlangsung meskipun tidak secara terbuka dan tidak semarak seperti di masa lalu, terutama bagi jabatan-jabatan kepala daerah (yang mana pada era reformasi, jabatan sebagai kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah/Pilkada). Pada masa era Soeharto berjaya, kepala daerah terjadi melalui proses penunjukkan oleh Presiden dibantu oleh Menteri Dalam Negeri, yang mana kepala daerah yang dipilih Presiden ini umumnya individu-individu yang mampu bekerjasama dalam menjaga kelangsungan kekuasaan pemerintah pusat.
Menurut Max Weber, negara “patrimonilistik” memiliki ciri-ciri: (1) yang berkuasa cenderung membagikan sumber kekuasaan yang dimiliki kepada teman/kroninya; (2) kebijakan seringkali bersifat khusus daripada bersifat mendunia; (3) peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu yang sekunder sifatnya berbanding dengan peraturan dan ketetapan ytang dibuat oleh seorang penguasa, (4) kuasa politik seringkali mencampuradukkan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi (Afan Gaffar, 1999: 114-115).
Sementara itu, Manuel Kaisepo menguraikan mengenai aspek-aspek penting model neo-patrimonialistik ialah: (1) kepemimpinan pribadi yang tidak terkontrol, keputusan penting dalam merumuskan kebijakan merupakan produk oligarki tentara-teknokrat daripada usaha seorang diktator tentara; (2) sehubungan dengan fungsi dan peranan politik administrator, pada pendapat Roth, kepemimpinan pribadi boleh berkembang melalui alat-alat birokrasi atau dengan akata lain, patrimonialisme boleh berjalan melalui kekuasaan birokrasi. (3) masalah keabsahan rejim dan ketaatan atau kepatuhan rakyat kepada kepemimpinan.  Jika model politik-birokratik menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan yang merujuk kepada sikap konvensional tradisional dan terbelakang, maka model patrimonialisme pula menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan lapisan bawah rakyat biasa, terutama yang melibatkan ganjaran kebendaan (Jurnal Ilmu Politik, No. 2, 1997: 28).
Menurut King, rejim neo-patrimonial, kebiasaan kekuasaan lebih berdasarkan pada rasional “substantif” berbanding dengan “rasional perundangan” seperti ciri birokrasi di negara-negara industri Barat. Merujuk kepada proses reformasi dan rasionalisasi administrasi serta pelaksanaan kebijakan ekonomi pemerintah orde baru. King masih berpendapat bahwa masih terdapat banyak faktor yang tidak mudah untuk disesuaikan dengan model birokrasi neo-patrimonial terutama yang bekerja atas dasar rasional substantif (Jurnal Ilmu Politik, No.2, 1997: 28).

Miriam Boediardjo, negara-negara Barat terutama Belanda yang menjajah dan menekan bangsa Indonesia dengan cara politik memecah belah (“Devide et impera”) dan sengaja mewujudkan pula kelas-kelas dalam masyarakat sehingga memunculkan budaya peserta (“kawula”) yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Keadaan itu mendorong bangsa Indonesia bangkit menentang penjajah untuk merebut kemerdekaan dengan melakukan penentangan secara kekerasan fisikal maupun non fisikal. Elit politik (para penyelenggara negara) bertekad menyelenggarakan kerajaan secara demokratik dan memperoleh sokongan luas daripada rakyat Indonesia (Miriam Boediardjo, 1980: 69-76, Afan Gaffar, 1999: 10). 

No comments:

Post a Comment

PROSES PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK SCL

             Belajar bukan sekedar mendapat pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan pengetahuan tersebut pada analisis yang kritis, krea...