KECENDERUNGAN BUDAYA POLITIK INDONESIA
Negara Indonesia adalah suatu negara yang bersifat
pluralis (majemuk) dilihat dari aneka ragam suku bangsa, kebudayaan dan agama.
Namun pluralitas yang dimiliki oleh bangsa kita tidak begitu menjadi
persoalan besar apabila keanekaragaman
tersebut tidak mewarnai orientasi
politik masyarakat. Kenyataannya terdapat
perkaitan antara orientasi politik dengan nilai-nilai budaya yang
bersumber pada pluralitas masyarakat. Menurut Syamsuddin (1995: 8),
orientasi politik tidak saja didorong oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat,
tetapi bisa saja merupakan masukan dari luar. Namun tanggapan anggota
masyarakat terhadap orientasi itu sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki.
Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi, dan kadang “membentuk” keseluruhan
sikap masyarakat kemudian terpolakan menjadi orientasi politik masyarakat. Pada
suatu negara yg masyarakatnya sangat pluralis seperti Indonesia dibutuhkan
suatu upaya penyatuan nilai-nilai secara nasional dengan cara melakukan
perubahan orientasi politik masyarakat.
Perubahan itu dapat
dilakukan dengan cara paksa (indoktrinasi) maupun cara persuasif (sosialisasi
politik). Yang menjadi masalahnya adalah sejauh mana masyarakat dapat menerima
upaya pemerintah untuk menyatukan nilai-nilai tersebut dan memiliki kebanggaan
sebagai anggota masyarakat dari suatu negara.
Untuk
mengintegrasikan masyarakat yang memiliki orientasi-orientasi politik yang
berbeda satu sama lain, the founding
fathers kita berusaha menyatukan
nilai-nilai dan budaya-budaya lokal di Indonesia ke dalam satu motto nasional
yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya persatuan dalam keanekaragaman.
Di awal kemerdekaan,
proses persatuan dan kesatuan bangsa
sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan nasional. Pemerintah melancarkan
strategi nasional untuk menyatukan keanekaragaman
nilai dan budaya di bawah payung asas tunggal Pancasila.
Nazaruddin Syamsudin (1995: 34-36) menyatakan bahwa
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara secara fundamental telah
berhasil merangkum nilai-nilai pokok yang hidup di masyarakat dan mencerminkan
kesepakatan-kesepakatan yang ada di masyarakat. Pancasila tentu saja memainkan
peranan utama dalam proses pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, dalam arti
ia menjadi pengikat atau pemersatu nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Namun pada kenyataannya, -sejak Indonesia
merdeka-, perbedaan nilai-nilai lebih
muncul kepermukaan daripada nilai-nilai persatuan. Menurut Kantaprawira
(1992:37-39) munculnya perbedaan nilai-nilai tersebut antara lain disebabkan
oleh :
a. Konfigurasi subkultur di Indonesia yang
masih beraneka ragam, dari segi bahasa, agama, suku dan budaya. Perbedaan
tersebut menjadi cukup mencolok karena masyarakat kita lebih mengedepankan
kadar perbedaan daripada nilai-nilai kesamaannya. Munculnya anggapan-anggapan
negatif akibat mempermasalahkan perbedaan-perbedaan kadar dari nilai-nilai
pokok inilah yang kemudian memunculkan rasa saling curiga antara suku yang satu
dengan yang lainnya. Masalah keanekaragaman subkultur tersebut diatasi melalui
pembangunan bangsa (nation building)
dan pembangunan karakter (charahcter
building) melalui Asas tunggal Pancasila dan Wawasan Kebangsaan namun pada
masa rezim Orde Baru upaya tersebut terkesan dipaksakan untuk menciptakan
stabilitas keamanan nasional agar dapat mendongkrak pertumbuhan perekonomian.
Sehingga tidak dibiarkan adanya perbedaan pendapat dan pemikiran terutama
apabila pendapat dan pemikiran tersebut menentang kebijakan pemerintah. Kecurigaan
juga ditujukan kepada penguasa. Penguasa seringkali melakukan upaya
penyeragaman dan mematikan nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari
kebijakan nasional dengan melakukan penyeragaman sistem pemerintahan daerah dan
desa, menghidupsuburkan kebudayaan-kebudayaan tertentu (yang didominasi elite),
para kepala daerah yang didominasi oleh orang Jawa dan militer, yang pada
akhirnya masyarakat suku setempat tidak memiliki pengaruh politik di wilayahnya
sendiri. Masyarakat suku setempat tidak memiliki kesempatan untuk memelihara
budaya mereka sendiri.
b.
Budaya politik Indonesia juga bersifat parokial-kaula di satu pihak dan
budaya politik partisipan di pihak lain. Di satu sisi masyarakat Indonesia itu enggan menyampaikan kritik dan masih
ketinggalan dalam hal menggunakan hak dan berperan aktif dalam kehidupan
politik. Hal tersebut mungkin saja disebabkan oleh pengaruh penjajahan,
feodalisme, bapakisme, ikatan primordial. Namun disisi lain kaum elit sangat
mendominasi kehidupan politik hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang
pendidikan, ekonomi, status sosial, kedudukan politik dan ideologi antara kaum
elite dan masyarakat.
c.
Adanya Ikatan Primordial yang kuat dan berakar. Hal ini dapat
ditunjukkan dari sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, puritanisme dan non puritanisme. Salah satu petunjuk masih
kukuhnya ikatan tersebut dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin
dalam struktur vertikal masyarakat dimana
usaha gerakan kaum elit dalam organisasi politik langsung mengeksploitasi dan
menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk tujuan pengrekrutan dukungan.
Misalnya pada salah satu organisasi politik di Indonesia yang melakukan
pendekatan kepada para ulama untuk memobilisasi dukungan suara dari para santri
atau pendekatan kepada sesepuh masyarakat untuk memperoleh dukungan dari
massanya. Primordialisme akan menguntungkan kelompok-kelompok yang ada di
dalamnya dan mengecewakan kelompok yang lain. Adanya persepsi dan sikap-sikap yang didasarkan pada ikatan
primordial ini akan menimbulkan kesenjangan dan merenggangkan rasa solidaritas
sesama masyarakat, dan antara masyarakat dengan penguasa. Kenyataan ini akan
menimbulkan kecurigaan bahkan rasa saling bermusuhan yang mengarah pada
disintegrasi bangsa.
d.
Kecenderungan budaya politik yang masih mengukuhkan sikap paternalisme
dan sifat patrimonial antara lain ditunjukkan oleh pemahaman bapakisme atas sikap asal
bapak senang. Untuk beberapa hal tertentu, sikap ini cukup menjaga
keselarasan masyarakat yang menyandarkan
dirinya atau tunduk kepada proses output kebijakan penguasa. Sikap paternalisme
dan patrimonial ini Budaya pada masyarakat kita
untuk memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin. Disamping itu pula,
individu yang merasa dirinya mampu memimpin, percaya bahwa kepemimpinannya
senantiasa tepat atau benar, sehingga lazimnya tidak mau dikritik. Kritik
dianggap sebagai manifestasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap diri dan
kebijaksanaannya. Anggapan negatif penguasa terhadap kritik juga ditopang oleh tafsiran mengenai
kekuasaan. Elite politik cenderung mengintepretasikan kekuasaan sebagai
kebebasan untuk bertindak atau mempengaruhi orang lain, meskipun dengan cara
paksaan. Dengan kekuasaan, seorang pemimpin merasa mempunyai kebebasan yang
dapat dipergunakan sesuai dengan keinginannya. Dari sinilah lahir
pembenaran-pembenaran terhadap tingkah laku elit dan massa. Sebagai penguasa,
ia merasa memiliki kebebasan bertindak, dan sebagai masyarakat atau yang
dikuasai harus menerima ketidakberdayaan yang lama-lama menjadikannya ‘bosan’
terhadap situasi tersebut sehingga
menciptakan apatisme dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, masyarakat merasa sia-sia melontarkan kritik karena
tidak akan mendapat perhatian dari pemimpin/penguasa, celakanya kritik tersebut
dapat membawa resiko bagi dirinya sendiri.
Namun seiring dengan
berjalannya waktu, terutama setelah jatuhnya Orde Baru dan digantikan oleh Orde
Reformasi, pelaksanaan pembangunan ekonomi disisi lain telah menciptakan
lingkungan baru dalam aspek kehidupan berpolitik di Indonesia. Lingkungan baru
yang dimaksud adalah berupa situasi di mana sebagian besar masyarakat telah
terpacu, dan meningkatkan kesadaran
politik masyarakat secara keseluruhan. Perkembangan ini kemudian akan
mempengaruhi hubungan elite dengan massa, dan lambat laun menghapus
meminimalisir primordialisme dan sifat patrimonial. Meskipun primordialisme
tidak dapat sepenuhnya dihapuskan karena kenyataannya ada beberapa orang yang
berupaya mempertahankan primordialisme tersebut.
Sebenarnya masalah
mengenai budaya politik Indonesia telah banyak dilakukan penelitian oleh para
ilmuwan politik baik dari negara asing meupun dari sarjana Indonesia
sendiri. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, umumnya dikemukakan bahwa pola budaya politik Indonesia memiliki
beberapa ciri uatama diantaranya adalah “kecenderungan hirarki yang tegas”,
“patronase”, “patrimonialistik” dan “neo-patrimonialisme” (Afan Gaffar, 1999:
115).
Pada
sebagian besar masyarakat Indonesia khas masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat
hirarkhi, stratifikasi sosial tidak berdasarkan simbol sosial yang bersifat
materialistik, tetapi lebih kepada akses kekuasaan yaitu antara pemegang kuasa
dengan rakyat terpisah secara tegas. Misalnya, di dalam masyarakat Jawa
wujudnya istilah “ndoro” (majikan) dan “rakyat kebanyakan”, “wong gede” (orang
atasan) dan “wong cilik” (orang bawahan). Pola pemisahan tersebut berimplikasi
kepada tindakan pemerintah dalam kalangan masyarakat yang seringkali
menonjolkan diri dengan imej diri “benevolent”.
Contoh, pegawai pemerintah (orang atasan) melindungi, mendidik rakyat
dengan menonjolkan diri sebagai kumpulan pemurah, baik hati, namun di balik
citra kemurahan hati itu memiliki persepsi yang berbeda. Mereka menganggap
dirinya amat baik dan mengetahui segala-galanya maka oleh itu sepatutnya rakyat
patuh kepadanya. Sebaliknya rakyat (orang bawahan) adalah kumpulan yang tidak
tahu apa-apa, oleh sebab itu itu harus memperoleh pendidikan melalui berbagai
pelatihan.
Bersamaan
dengan pendapat itu, Selo Soemarjan menjelaskan:
“…memang masyarakat
merasakan bahwa pola pemerintah terpusat di tangan seorang lebih serasi dengan
susunan masyarakat Indonesia pada umumnya yang bersifat autokratik. Sejarah
Indonesia banyak dipenuhi oleh raja, ratu, sultan dan penguasa-penguasa absolut
lainnya, di mana masyarakat menganggapnya sebagai mediator/penghubung antara
dunia kekuatan kosmologi yang menguasai kehidupan manusia dan masyarakat,
sehingga mereka tidak melawan kekuatan kosmologi karena mendatangkan kutukan
dan malapetaka kepada semua manusia tanpa terkecuali” (Herberth Feith &
Lance Castles (ed), 1988: 113).
Keadaan yang
diperihalkan ini menunjukkan bahwa dasar awam merupakan domain atau kuat kuasa
dan kecakapan sekelompok kecil elit pada pemerintah pusat atau di ibukota
provinsi. Dalam kalangan pemerintah yang membentuk agenda kebijakan publik dan
mengubah, kemudian DPR atau DPRD mengesahkan. Sementara itu rakyat mengalami
proses pemisahan dan tidak terlibat di dalam proses politik, mereka hanya
terlibat pada tahap pelaksanaan kebijakan.
Ciri budaya politik
lainnya yang terkenal di Indonesia adalah kecenderungan pembentukkan pola
budaya politik patronase atau penaungan (patron-client)
baik dalam kalangan pihak yang berkuasa maupun masyarakat biasa.
Menurut Karl D.
Jackson, pola hubungan penaungan lebih bersifat hubungan pribadi sesama yaitu
antara patron “penaung” dengan client “yang dinaungi” melakukan interaksi
timbal balik. Istilah “bapakisme” seringkali digunakan untuk menggambarkan
sistem hubungan sosial bangsa Indonesia yang cukup personal/pribadi tetapi
kompleks. Bapak sebagai pemimpin (client)
perlu memperhatikan keinginan material, spiritual, dan keinginan emosional anak
buahnya, sementara anak buah memberikan sumbangan/hadiah, ikut serta dalam
acara-acara keluarga, bergabung atau meninggalkan partai politik, dan dalam
beberapa kasus berusaha mempertahankan kehidupan penaung (Karl D. Jackson,
1978: 35).
Afan Gaffar
mengatakan bahwa di antara penaung dan yang dinaungi terdapat hubungan timbal
balik dalam kedudukan yang tidak sejajar. Walaupun kedua-duanya saling
memerlukan, kuasa penaung terjelma dalam sejumlah layanan yang dapat
menyediakan untuk mereka, sebagai satu “hadiah”, sementara yang dianungi
bernaung di bawah kuasa penanungannya, memperlihatkan kewujudannya, dan juga
menyediakan hadiah-hadiah, dan hubungan itu senantiasa saling bergantungan
(Afan Gaffar, 1999: 110).
Hubungan seperti ini
terus berlaku selama pihak penaung dan yang dinaungi masih memiliki sumber
daya, dan biasanya yang paling banyak memperolehi manfaat dalam hubungan timbal
balik ini adalah penaung karena penaung lebih memiliki banyak sumber daya
berbanding yang dinaungi. Budaya ini
terus berkembang, dan apabila terdapat orang ketiga yang bertindak sebagai
“perantara” anatara penaung dengan yang dianungi, ia disebut sebagai “broker” atau orang tengah.
Politik penaungan
(patronase) ini dapat diperlihatkan pada area sebelum reformasi. Budaya politik
penaungan cenderung memperluas memperluas penaungannya dalam bidang kekuasaan
dan masyarakat. Di dalam urusan kekuasaan, presiden berperan sebagai penaung
sejumlah menteri dan menteri-menteri itu berperan sebagai orang tengah atas
sejumlah menteri lainnya. Seterusnya
menteri-menteri ini pula menjadi orang tengah kepada direktorat jenderal,
sekretaris jenderal, inspektorat jenderal dari tingkat kekuasaan paling tinggi
kepada peringkat terendah. Sementara dalam urusan masyarakat, seseorang yang
berkuasa dalam urusan pemerintahan berperan sebagai penaung bagi sejumlah
pejabat di dalam lingkungannya. Daripada sejumlah pegawai tersebut pula
berperanan sebagai perantara kepada para pengusaha yang mencari peluang untuk
memperoleh proyek-proyek pemerintah.
Pengusaha itu kemudian, terutama pengusaha non pribumi membentuk diri
sebagai pihak yang dianungi dan selalu memberi hadiah kepada pihak berkuasa
yaitu pejabat pemerintah berbentuk uang atau kemudahan-kemudahan agar mereka
memperoleh kemudahan dalam menjalankan usahanya antara lain memperoleh tender
proyek dari pemerintah .
Sementara dalam
politik Indonesia juga terdapat kecenderungan muncul budaya politik
neo-patrimonialistik, yaitu pada masa Orde Baru yang memiliki ciri yang
bersifat modern dan rasional sedangkan di sisi lain masih memiliki sifat
patrimonialistik. Misalnya, di dalam birokrasi hirarkhi kekuasaan tersusun
secara rasional modern, walaupun jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi
masih diisi oleh seorang yang memiliki hubungan kekeluargaan. Di samping itu
banyak pula anggota tentara dan polisi yang memegang jabatan pemerintahan
maupun politik seperti jabatan bupati/walikota atau gubernur. Dalam era
reformasi, keadaan ini terus berlangsung meskipun tidak secara terbuka dan
tidak semarak seperti di masa lalu, terutama bagi jabatan-jabatan kepala daerah
(yang mana pada era reformasi, jabatan sebagai kepala daerah dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah/Pilkada). Pada masa era Soeharto
berjaya, kepala daerah terjadi melalui proses penunjukkan oleh Presiden dibantu
oleh Menteri Dalam Negeri, yang mana kepala daerah yang dipilih Presiden ini
umumnya individu-individu yang mampu bekerjasama dalam menjaga kelangsungan
kekuasaan pemerintah pusat.
Menurut Max Weber,
negara “patrimonilistik” memiliki
ciri-ciri: (1) yang berkuasa cenderung membagikan sumber kekuasaan yang
dimiliki kepada teman/kroninya; (2) kebijakan seringkali bersifat khusus
daripada bersifat mendunia; (3) peraturan perundang-undangan merupakan sesuatu
yang sekunder sifatnya berbanding dengan peraturan dan ketetapan ytang dibuat
oleh seorang penguasa, (4) kuasa politik seringkali mencampuradukkan antara
kepentingan umum dan kepentingan pribadi (Afan Gaffar, 1999: 114-115).
Sementara itu, Manuel
Kaisepo menguraikan mengenai aspek-aspek penting model neo-patrimonialistik
ialah: (1) kepemimpinan pribadi yang tidak terkontrol, keputusan penting dalam
merumuskan kebijakan merupakan produk oligarki tentara-teknokrat daripada usaha
seorang diktator tentara; (2) sehubungan dengan fungsi dan peranan politik
administrator, pada pendapat Roth, kepemimpinan pribadi boleh berkembang
melalui alat-alat birokrasi atau dengan akata lain, patrimonialisme boleh
berjalan melalui kekuasaan birokrasi. (3) masalah keabsahan rejim dan ketaatan
atau kepatuhan rakyat kepada kepemimpinan.
Jika model politik-birokratik menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan yang
merujuk kepada sikap konvensional tradisional dan terbelakang, maka model
patrimonialisme pula menjelaskan kesetiaan dan kepatuhan lapisan bawah rakyat
biasa, terutama yang melibatkan ganjaran kebendaan (Jurnal Ilmu Politik, No. 2,
1997: 28).
Menurut King, rejim
neo-patrimonial, kebiasaan kekuasaan lebih berdasarkan pada rasional
“substantif” berbanding dengan “rasional perundangan” seperti ciri birokrasi di
negara-negara industri Barat. Merujuk kepada proses reformasi dan rasionalisasi
administrasi serta pelaksanaan kebijakan ekonomi pemerintah orde baru. King
masih berpendapat bahwa masih terdapat banyak faktor yang tidak mudah untuk
disesuaikan dengan model birokrasi neo-patrimonial terutama yang bekerja atas
dasar rasional substantif (Jurnal Ilmu Politik, No.2, 1997: 28).
Miriam Boediardjo,
negara-negara Barat terutama Belanda yang menjajah dan menekan bangsa Indonesia
dengan cara politik memecah belah (“Devide
et impera”) dan sengaja mewujudkan pula kelas-kelas dalam masyarakat
sehingga memunculkan budaya peserta (“kawula”) yang mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia. Keadaan itu mendorong bangsa Indonesia bangkit menentang
penjajah untuk merebut kemerdekaan dengan melakukan penentangan secara
kekerasan fisikal maupun non fisikal. Elit politik (para penyelenggara negara)
bertekad menyelenggarakan kerajaan secara demokratik dan memperoleh sokongan
luas daripada rakyat Indonesia (Miriam Boediardjo, 1980: 69-76, Afan Gaffar,
1999: 10).
No comments:
Post a Comment